محمد نور توفيق

محمد نور توفيق
إِنَّ الْحَمْدَ لِلّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُYAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII 'ALAA DIINIKA "WAHAI YANG MEMBOLAK-BALIKKAN HATI, TEGUHKAN HATIKU PADA AGAMA-MU" Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, kita meminta pertolongan kepada-Nya, kita meminta ampunan kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kita dan dari keburukan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh pengikut mereka yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. http://shohibulummah.blogspot.com/ facebook : muhammadnurtaufiq@rocketmail.

Senin, 27 Desember 2010

Kiat-kiat Khusyu’ Dalam Shalat

Kiat-kiat Khusyu’ Dalam Shalat

Submitted by forsan salaf on Sunday, 18 October 20092 Comments
khusyu'Assalamu’alaikum,
Mohon diberikan petunjuk bagaimanakah kiat2nya agar kita bisa khusyuk dalam melaksanakan ibadah sholat?
wassalamu’alaikum
FORSAN SALAF menjawab :

Shalat adalah ibadah anggota badan yang paling afdhol, oleh karena itu dalam rukun islam di tempatkan nomor dua setelah syahadatain. Shalat terdiri daripada bacaan-bacaan seperti takbir, surat fatehah, tasyahud, tasbih dan lain-lain, juga terdiri dari gerakan-gerakan seperti berdiri, ruku’, sujud dan lain-lain. Selain itu, dituntut juga ibadah hati dalam shalat yaitu khusyu’ dalam mengerjakannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ .الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,
Cara-cara agar khusyu’ dalam mengerjakan shalat :
  1. Benar-benar meyakini bahwa shalat itu menghadap Allah, dan Allah tidaklah menilai hamba dari penampilan dan tampangnya tapi Allah menilai dari hatinya. Gerakan shalat yang bagus, bacaan yang indah namun tidak diiringi dengan hati yang baik, seperti penuh dengan cinta dunia, hasut, iri hati dan sombong, maka nilainya di sisi Allah tidaklah baik. Oleh karena itu diperlukan perbaikan hati terlebih dahulu sebelum pelaksanaan shalat.
  2. Mengerti arti bacaan-bacaan dalam shalat serta merenunginya ketika membacanya.
  3. Menunaikan hajatnya yang bisa mengganggu kekhusyu’annya dalam shalat. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدُكُمْ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“ janganlah salah satu di antara kalian shalat ketika dihidangkan makanan atau dalan keadaan menahan kencing dan berak “
Ketika kita lapar dan makanan dihidangkan di depan kita, maka dahulukan makan agar dalam shalat tidak terpengaruh dengan kelezatan makanan atau yang lainnya sehingga bisa melaksanakan shalat dalam keadaan khusyu’.
4.    Melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran Nabi serta menfokuskan pandangan pada tempat sujud untuk membatasi pandangan  pada satu tempat saja. Selain itu, dengan memandang tempat sujud, kita diajak untuk berpikir bahwa dari tanahlah kita diciptakan Allah, dan kedalam tanahlah akan dikembalikan (ketika mati) serta dari tanahlah kita akan dibangkitkan. Sebagaimana firman Allah SWT :

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى

Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,
Jika Anda ingin memperdalam lagi tentang cara-cara khusyu’ dalam shalat, maka bacalah kitab-kitab tasawwuf karangan Imam Al-Ghozali, Imam Al-Habib Abdullah Al-Haddad atau kitab Shalat al-Muqorrobin karangan AlHabib Hasan bin Sholeh Al-Bahr, di situ Anda akan mendapatkan keterangan yang lebih jelas lagi.

Diantara Keajaiban Mata

Diantara Keajaiban Mata

Submitted by forsan salaf on Monday, 20 July 2009No Comment
mataAlam ciptaan Allah sungguh amat mempesona. Keindahannya tak bisa kita pungkiri lagi. Ketika kita melihat taman-taman yang indah dan tanah-tanah yang lapang. Ketika kita melihat kesegaran rumput hijau di pagi yang cerah. Tatkala kita melihat berbagai wajah-wajah dengan aneka ragam bahasa dan warna kulit….. Belum lagi aneka bunga, tanaman, hewan, dan makhluk lainnya yang mempesona mata. Pernahkah terpikir oleh kita ―saat terbangun di pagi hari dan menyaksikan ribuan nikmat itu― apa makna di balik semua keindahan ciptaan Allah SWT ini?
Saya yakin banyak diantara kita yang menjadi lebih suntuk ketika hari berganti menjadi petang. Matahari kian tenggelam di ufuk Barat. Suasana menjadi gelap, taman-taman yang tadinya indah kini tak tampak lagi. Warna alam yang menggairahkan seakan menjadi pudar. Sekali lagi coba Anda renungkan nikmat penglihatan yang Tuhan berikan kepada anda. Setiap panca indera yang dianugerahkan kepada kita menempati porsi kebahagiaan yang tertentu pula. Mata, hidung, telinga, lidah dan kulit semuanya memiliki prosentase kenikmatan yang berbeda. Saya juga yakin Anda sependapat bahwa diantara kelima panca indera itu, mata merupakan salah satu yang paling besar peranannya.
Tanpa penglihatan, bukan hanya kenikmatan penglihatan saja yang hilang, tapi kenikmatan panca indera yang lain juga akan berkurang. Ketika anda tidak bisa melihat makanan yang dihidangkan maka anda tidak akan bisa merasakan kenikmatan makanan itu dengan benar. Anda pun tak akan menikmati sejuk udara pagi dengan santai tanpa menyaksikannya secara langsung. Musik pun tak akan terdengar merdu di telinga Anda. Oleh sebab itulah kita harus pandai-pandai menyelami hakikat dari indera yang amat berharga ini.
Betapa besar mata telah menghibur anda hingga saat ini! Perhatikan saat-saat anda berlibur ke pantai menyaksikan hamparan pasir putih dengan pantainya yang berkilau diterpa sinar matahari. Sementara di ujung yang lain sebuah tanjung terhampar dengan indahnya. Cobalah merenungi suasana ketika anda bepergian ke puncak gunung sembari menyaksikan keindahan kota dibawah sana. Ketika kita bersantai dirumah, berapa banyak jam yang kita habiskan menikmati acara televisi hari demi hari? Sungguh hingga saat ini kita telah banyak melupakan syukur atas nikmat penglihatan yang Allah berikan.
Dalam surat As-Sajdah ayat 9 Allah berfirman: ”Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Jauh sebelum kita diciptakan, Allah sudah mengetahui bahwa kita akan mendustakan kenikmatan ini dengan tidak mensyukurinya. Di ayat yang lain disebutkan : ”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (An-Nahl : 78)
Pendengaran dan penglihatan merupakan dua jendela yang menghubungkan manusia dengan alam luar. Telinga meningkatkan intelektualitas, konsentrasi dan pemahaman seseorang sedangkan mata menyuguhkan tampilan alam. Dengan mata ini pula kita bisa belajar dan menulis serta melakukan pekerjaan sehari-hari dengan sempurna. Dengan dua nikmat agung ini kita dicetak menjadi manusia yang cerdas, intelek dan tanggap terhadap lingkungan. Al-Qur’an menyebutkan dua indera ini lebih banyak daripada indera dan organ tubuh lainnya.
Secara anatomis mata kita berada pada tempat yang amat terlindung. Rongga tersebut menampung 30cc volume. Tulang-tulang yang melingkar di sekeliling mata diciptakan dengan sempurna sehingga mata aman dari trauma. Disamping atas, dibagian bawah dan tengah dari tiap mata terdapat suatu rongga dari tulang yang disebut sinus. Sinus ini berfungsi sebagai Shock Absorber (peredam kejut) sehingga sewaktu-waktu tulang tersebut mengalami trauma, maka tekanannya akan diserap oleh sinus dan mengurangi tekanan yang masuk ke dalam mata. Sang Pencipta meletakkan organ istimewa ini pada tempat yang aman dan melengkapinya dengan berbagai sarana penjagaan.
Di sisi depan, mata dilindungi oleh kelopak yang memiliki reflek menutup dengan amat cepat, sehingga sepersekian detik saja sudah bisa menutup ketika ada sesuatu yang akan masuk. Dilengkapi dengan bulu, menjadikan mata aman terhadap partikel padat maupun cair. Di sudut bagian samping atas dari rongga mata terdapat kelenjar penghasil air mata yaitu kelenjar lakrimalis. Kelenjar ini senantiasa memproduksi air mata (tear film) yang akan membasahi permukaan mata dan mencuci mata dari debu-debu dan partikel kotoran yang senantiasa masuk. Cairan ini sangat istimewa fungsinya. Selain membunuh kuman-kuman yang masuk, cairan ini juga mengatur tekanan dalam bola mata dan memberikan nutrisi kepada bagian mata terluar yaitu Kornea.
Berkurangnya cairan mata dalam waktu tertentu akan menyebabkan suatu gejala kekeringan mata yang disebut Xeroftalmia. Penyakit ini akan menyebabkan kebutaan jika tidak ditangani dengan segera. Bersyukurlah anda yang memiliki mata yang sehat dan memiliki air mata yang sehat juga setiap saat, karena jika tidak, maka anda akan menggunakan tetes air mata buatan sepanjang hidup ! Berfirman Allah dalam surat Al-An’aam 46 yang artinya : ” Katakanlah: ’Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah uhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?’ Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).”
Kornea sehat yang anda miliki juga sangat mahal harganya. Cangkok kornea di Amerika bagi orang-orang dengan parut kornea (makula) memakan biaya hingga US$ 8700 atau sekitar 80 juta rupiah untuk satu mata. Prosedurnya pun harus mengantri lama, karena donor kornea yang biasanya didapat dari negara Asia Barat seperti India dan Srilanka makin jarang didapat akhir-akhir ini. Operasi cangkok kornea termasuk operasi besar dengan komplikasi yang besar dan kemungkinan keberhasilan yang relatif kecil. Oleh karena itu panjatan beribu-ribu syukur layak Anda lantunkan kepada-Nya yang telah menganugerahi anda dengan kesempurnaan hingga saat ini.
Siapakah yang mampu menciptakan penglihatan yang menakjubkan ini selain Allah? Penglihatan dan mata adalah karunia besar dari Sang Pencipta kepada hamba-Nya, bukti konkrit keajaiban penciptaan manusia yang menyaksikan Keagungan-Nya. Apakah sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat, cahaya dan kegelapan? Mahasuci Allah yang telah mencipta segala sesuatu, pada Tangan-Nya lah kerajaan bumi dan langit, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Proses melihat kita dimulai dari jatuhnya cahaya pada obyek yang kita lihat. Cahaya sendiri dipancarkan oleh matahari yang berjarak 93 juta kilometer dari bumi. Sinar ini akan mencapai bumi dalam waktu 8 menit. Pantulan cahaya dari obyek kemudian akan masuk mata melalui lensa mata. Lensa ini berfungsi menyatukan sudut-sudut yang dibentuk sinar-sinar tersebut. Setelah bersatu, sinar ini akan melewati pupil dan menembus bagian dalam bola mata yang transparan dan akan berakhir di retina. Retina adalah syaraf mata yang akan meneruskan rangsangan penglihatan ke otak.
Ketika kita sedang menyaksikan suatu obyek, maka obyek itu akan terlihat sebagai benda tunggal. Padahal, kedua bola mata sama-sama menerima rangsang cahaya dalam retina. Hal ini karena kedua retina akan berkongruensi atau bekerja sama dalam menyatukan titik cahaya. Keduanya akan memperpanjang diri sebagai saraf otak dan saling menyilang didasar otak untuk kemudian dilanjutkan ke bagian samping dan belakang otak (area 17 Brocca) untuk kemudian diinterpretasikan mulai bentuk, warna, jarak dan dimensinya. Sungguh keindahan ciptaan Allah SWT ini tak terjangkau oleh pikiran dan ilmu kita yang terbatas.
Alangkah malangnya bagi kita yang dengan penglihatan yang sehat lalu mempergunakannya untuk melihat barang-barang yang haram dan maksiat. Alangkah tidak beruntungnya mereka yang mempergunakan organ yang bersih untuk melihat sesuatu yang kotor. Dengan berbuat demikian sama artinya kita tidak mengindahkan nikmat Allah ini. Naudzubillahi min dzalik. Sebaliknya, beruntunglah diantara kita yang mempergunakannya di jalan yang benar, memakainya untuk membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab ilmu dan dengan itikad baik meningkatkan ibadah. Kita harus selalu ingat bahwa selain menyuguhkan keindahan dan kenikmatan, mata juga berpotensi besar untuk membawa kita kepada penyimpangan akhlak dan dosa.
Janganlah kita menyesalinya kelak ketika sudah di alam akhirat, ketika Allah seakan-akan heran melihat hal itu lalu berfirman, “Alangkah nyaringnya telinga mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka di kala mereka menghadap Kami. Padahal mereka di dunia seakan-akan tuli tidak dapat mendengarkan petunjuk yang di bawa Nabi dan seakan-akan buta tidak dapat melihat kebenaran dan mukjizat yang diberikan kepada Rasul-rasul. Tidak melihat kekuasaan Allah yang tampak dengan nyata pada alam semesta”. Dan dikala itu mata yang menyuguhkan maksiat dulu akan menjadi saksi atas semua perbuatan yang telah kita lakukan, lalu kita baru terperanjat dan berangan-angan untuk kembali ke dunia dan menggunakannya dijalan yang baik. Allah kemudian mengancam dalam surat Al-Haqqah 30-33, “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar”. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari adzab Allah SWT.
Untuk itu marilah kita pergunakan mata kita di jalan Allah, di jalan yang akan menuntun kita kepada sorga-Nya. Insya Allah dengan mempergunakannya secara baik, kita tercatat sebagai hambaNya yang bersyukur dan bertaubat. Harus selalu kita ingat bahwa setiap kenikmatan yang disuguhkan oleh mata saat ini akan menyisakan setiap pertanyaan kelak di alam baka…..
Popularity: 5% [?]

Hidup Sehat dengan Shalat

Hidup Sehat dengan Shalat

Submitted by forsan salaf on Saturday, 11 July 20092 Comments
135518398_6660c06c1dDi dalam Islam terkandung nilai-nilai syariat yang begitu indah dan berkeadilan. Setiap diri — baik Muslim maupun non Muslim — tidak dirugikan sedikit pun oleh Islam. Hukum, aturan, nilai, dan etika dalam syariat Islam adalah paling sempurna. Setiap bagian dari ajaran Islam mengandung hikmah. Di balik hukum-hukum dan kewajiban syariat yang telah ditetapkan Allah SWT, terkandung rahasia-rahasia yang mendalam dan hikmah-hikmah yang menakjubkan. Akal manusia terlalu pendek untuk menyelami segala rahasia dan hikmah itu. Syariat ini diturunkan kepada manusia melalui Nabi dan Rasul, tidak lain adalah demi kebaikan dan kemaslahatan manusia itu sendiri, baik duniawi maupun ukhrawi.
Tak terkecuali shalat, dari kalimat yang kita dengar sehari lima kali, “Hayya ‘alas shalah, hayya ‘alal falah,” (Marilah melakukan shalat, marilah menuju kebahagiaan) jelas tersurat bahwa dengan menegakkan shalat, manusia akan menemukan kebahagiaan. Allah menyatakan,
“Sungguh berbahagialah orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya“.
Dari penjelasan ini nyata bahwa shalat yang khusyuk akan mengantarkan seorang hamba Allah kepada kebahagian sejati. Kebahagiaan itu berupa kenikmatan abadi yang akan dikaruniakan Allah di akhirat kelak. Di dunia, orang yang shalatnya khusyuk akan merasakan kebahagiaan dan ketentraman hati.
Ibadah shalat merupakan bentuk dzikir yang paling luhur, perilaku taat yang paling utama sebagai refleksi dari puncak kepatuhan dan penghambaan diri. Di dalamnya, terwujud kebesaran Sang Pencipta dan kenistaan makhluk. Dari itu, shalat menempati posisi kedua dalam rukun Islam setelah mengucapkan kalimat syahadat.
Bagi para shalihin, bertemu Allah lewat shalat adalah saat yang paling dinantikan, karena pada waktu itulah ia bisa mencurahkan semua isi hati dan bermi’raj menuju Allah. Sesuai sabda Nabi SAW,

الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Ibadah shalat adalah mi’raj bagi orang mukmin”
Seorang muslim yang sadar bahwa dirinya adalah hamba Allah, akan menandai terbit fajar sebagai awal pergantian malam dan siang dengan menghadap Allah melalui shalat Subuh. Ia membuka rutinitas kesehariannya, mensyukuri keselamatan yang  dianugerahkan ketika ia bangun dari tempat tidurnya untuk kemudian bekerja keras dan mencari rejeki Allah.
Matahari bergeser dari atas ubun-ubun, otak dan hati i disejukkan kembali dengan bertemu Allah dalam shalat Dhuhur. Ketika matahari condong ke arah barat, sebagian manusia istirahat dan melepas lelah, ada pertemuan lagi dengan Allah dalam shalat Ashar, demi mensyukuri nikmat atas petunjuk Allah dalam setiap usahanya. Matahari terbenam dan siang telah berganti malam, stamina tubuh yang mulai bugar diajak bersujud kepada Allah dengan shalat Maghrib. Saat bintang-bintang bertaburan memenuhi langit yang hitam kelam, dan manusia hendak menikmati istirahat malam, ia menghadap dulu kepada Al-Khaliq sambil bersyukur dalam shalat Isya’.
Begitulah perjalanan hidup seorang mukmin, hari demi hari ditandai dengan menghadap Allah, menjadikan hidup penuh arti. Karena setiap pertemuan dengan Allah di dalam shalat akan mempunyai nilai tak terduga dan rahasia tersendiri. Selanjutnya, ia akan kembali lagi ke alam realitas untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang didapat dari shalatnya. Inilah makna sesungguhnya dari shalat.
Shalat adalah  tolok ukur kedudukan seseorang dalam Islam. Sesungguhnya setiap orang yang menganggap ringan dan meremehkan shalat, maka pasti ia juga menganggap ringan dan meremehkan dinul Islam, Bila ingin mengetahui kadar perhatian Anda terhadap Islam, maka periksalah perhatian Anda terhadap shalat, sebab kadar keislaman di hati Anda adalah seukuran kadar shalatnya. Bila Anda ingin mengukur keimanan seseorang, maka lihatlah seberapa besar ia mengagungkan shalat.

RAHASIA dan HIKMAH
Latar belakang disyari’atkannya shalat di satu sisi sebagai pembuktian ketundukan dan penghambaan diri terhadap Allah dan di sisi lain sebagai bentuk syukur terhadap nikmat dari Yang Maha Besar, diantaranya adalah, nikmat penciptaan makhluk; Allah telah menjadikan manusia dengan bentuk yang paling sempurna, hingga tak seorang pun berharap diciptakan dengan selain bentuk ini. Allah berfirman,
“Sungguh kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik”.
 Begitu pula nikmat sehat, karena dengan kesehatan anggota badan, seseorang mampu berbuat banyak kebajikan. Termasuk di dalamnya nikmat pemberian sendi-sendi yang elastis dalam anatomi tubuh yang sempurna sehingga dapat difungsikan dalam kondisi apapun. Allah kemudian memerintahkan kita untuk menggunakan nikmat-nikmat itu dalam kepatuhan.  Dalam shalat, kita padukan angggota badan, lisan, hati serta jiwa untuk berlutut dan memuja kepada-Nya, agar semua anggota dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang ada.
Diantara hikmah yang terkandung dalam shalat adalah disiplin waktu, orang yang shalat tepat pada waktunya dapat dilihat dari sikapnya yang efektif menggunakan waktu. Ia tidak membiarkan nikmat yang mahal harganya ini berlalu sia-sia.
Pelajaran berikutnya dari shalat adalah kebersihan. Shalat tidak sah dilakukan apabila tidak diawali dengan bersuci. Hikmahnya, orang yang shalatnya khusyu’ akan cinta dengan hidup bersih, dan akan selalu berpikir bagaimana lahir batinnya bisa selalu bersih. Termasuk rukun shalat adalah niat. Seorang yang shalatnya khusyu’ akan selalu menjaga niat dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak mau bertindak sebelum yakin niatnya lurus karena Allah. Shalat juga memiliki rukun yang tertib urutannya. Jadi, hikmah yang bisa diraih adalah cinta keteraturan. Shalat mengajarkan agar seorang mukmin senantiasa tertib, teratur, dan prosedural dalam hidupnya. Selain itu, shalat melatih kita untuk tawadhu’,  ketika sujud,  kepala dan kaki sama derajatnya. Bahkan dalam shalat setiap orang sama derajatnya. Setidaknya hal itu bermakna, dalam hidup kita harus tawadhu’, sebab kemuliaan hakiki hanya pantas dimiliki Allah SWT.
Shalat ditutup dengan salam, yang merupakan sebuah doa agar orang di sekitar kita diberi keselamatan dan keberkatan dari Allah. Ucapan salam ini sekaligus ‘garansi’ bahwa diri kita tidak akan pernah berbuat dzalim pada orang lain.
Dalam hadits Nabi SAW menegaskan,
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah dia yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
Hikmah lain di balik sejumlah kewajiban shalat sehari semalam adalah agar selalu berlangsung hubungan  (munajat) antara hamba dan Tuhannya dalam ketaatan yang kontinyu, sehingga dia selalu sadar berada dalam pengawasan-Nya dan selalu takut kepada-Nya. Bila seorang hamba menghadap Tuhannya sehari lima kali, selalu ingat pada-Nya setiap saat, menyadari bahwa AlIah Yang Maha Tahu mendeteksi semua rahasia dan mengetahui bahwa Allah akan menghitung semua amal, baik yang kecil maupun yang besar, maka jelas hal itu akan mengantarkan seorang hamba untuk melaksanakan hak-hak agama, senantiasa takut kepada  Allah dan berharap untuk meraih pahala. Sehingga bila terjebak dalam perbuatan dosa, maka ia cepat-cepat bertaubat memohon pengampunan dari-Nya.
Disamping hal-hal di atas, shalat juga membina rasa persatuan dan persaudaraan diantara muslimin. Umat Islam di seluruh dunia menghadap kiblat yang sama, yaitu Ka’bah. Hal ini akan membawa dampak psikologis yaitu persatuan, kesatuan, dan kebersamaan umat. Contoh lain adalah pada shalat berjamaah, setiap makmum mempunyai kewajiban mengikuti gerakan imam, sedangkan apabila imam melakukan kesalahan, maka makmum mengingatkan. Sehingga akan timbul diantara jama’ah rasa kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan kepemimpinan.

SUJUD TAMBAH KECERDASAN
Disamping mengandung hikmah secara moral seperti diuraikan di atas, shalat juga mengandung hikmah secara fisik. Banyak ahli-ahli (sarjana) kedokteran termasyhur membuktikan manfaat shalat terhadap kesehatan. Berikut studi pembuktiannya, dimulai dari bersedekap setelah takbirotul ihrom, meletakkan telapak tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri merupakan istirahat yang paling sempurna bagi kedua tangan. Sikap seperti ini memudahkan aliran darah mengalir kembali ke jantung, serta memproduksi getah bening dan air jaringan dari persendian tangan menjadi lebih baik sehingga gerakan di dalam persendian akan menjadi lancar. Hal ini menghindari timbulnya penyakit persendian seperti rheumatik. Sebagai contoh, orang yang mengalami patah tangan, maka lengan penderita tersebut dilipatkan di atas perut dengan mitella yang disangkutkan di leher.
Kedua, ruku’,  membungkukkan badan dan meletakkan telapak tangan di atas lutut sehingga punggung sejajar membentuk suatu garis lurus. Sikap yang demikian ini menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi tulang belakang sebagai penyangga tubuh dan pusat syaraf. Posisi jantung sejajar dengan otak, maka aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah. Selain itu, rukuk merupakan latihan kemih untuk mencegah gangguan prostat
Ketiga, I’tidal, yaitu bangun dari rukuk, tubuh kembali tegak. Variasi gerakan berdiri, ruku’, berdiri lagi, kemudian sujud merupakan latihan pencernaan yang baik. Organ-organ pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Efeknya, pencernaan menjadi lebih lancar.
Keempat, sujud, Dengan sikap sujud ini maka dinding dari urat-urat nadi yang berada di otak terlatih untuk menerima aliran darah yang lebih banyak dari biasanya, karena otak  pada waktu itu terletak di bawah. Latihan semacam ini dapat menghindarkan mati mendadak akibat tekanan darah secara tiba-tiba yang menyebabkan pecahnya urat nadi bagian otak karena emosi yang berlebihan dan sebagainya.
Seorang dokter neurology asal Amerika -yang akhirnya masuk Islam- menemukan, di dalam otak manusia terdapat beberapa syaraf yang tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci dari otak memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi sempurna. Tetapi ketika seseorang sujud, darah dapat mengalir memasuki urat syaraf tersebut. Urat ini memerlukan darah pada saat-saat tertentu saja. Artinya kebutuhan ini terpenuhi hanya pada waktu shalat.
Posisi sujud juga mengalirkan darah kaya oksigen secara maksimal dari jantung ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir seseorang. Dengan kata lain, sujud yang tuma’ninah dan kontinyu dapat memacu kecerdasan. Karena itu, lakukan sujud dengan tuma’ninah, jangan tergesa gesa agar darah mencukupi kapasitasnya di otak.
Kelima, Duduk Iftirasy (tahiyat awal), posisi duduk seperti ini menyebabkan tumit menekan otot-otot pangkal paha. Pijitan tersebut dapat menghindarkan penyakit saraf pangkal paha (neuralgia) yang menyebabkan tidak dapat berjalan. Disamping itu, tumit menekan aliran kandung kemih, kelenjar kelamin dan saluran vas deferens. Jika dilakukan dengan benar, postur ini bisa mencegah impotensi.
Dan yang terakhir, salam, Memutar kepala ke kanan dan ke kiri secara maksimal. Hal ini sangat berguna untuk relaksasi otot sekitar leher dan kepala, menyempurnakan aliran darah di kepala. Gerakan ini mencegah sakit kepala dan menjaga kekencangan kulit wajah.
Satu lagi penelitian para ahli yang menjawab rahasia di balik anjuran shalat Tahajjud. Cuaca di malam hari yang  biasanya dingin dan lembab menyebabkan banyak lemak jenuh melapisi saraf kita hingga menjadi beku. Kalau tidak segera digerakkan, sistem pemanas tubuh tidak aktif, saraf menjadi kaku, bahkan kolesterol dan asam urat merubah menjadi pengapuran. Tidur di kasur yang empuk akan menyebabkan urat syaraf yang mengatur tekanan ke bola mata tidak mendapat tekanan yang cukup untuk memulihkan posisi saraf mata kita. Jadi, dengan shalat malam urat tidur kita lebih terkendali.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa shalat disamping merupakan ibadah yang wajib dan istimewa ternyata juga mengandung manfaat yang sangat besar bagi kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat manusia. Shalat adalah anugerah terindah dari Allah bagi hamba beriman.

Dunia Yang Nisbi

Dunia Yang Nisbi

Submitted by forsan salaf on Thursday, 3 June 20102 Comments
dunia-maya1Kalam Habib Abdullah bin Husein bin Thahir

“Perasaan senang, bahagia, tenteram, puas dan lapang dada ternyata tak timbul sebab keserasian suatu raihan manusia dengan keinginannya. Begitu sebaliknya, rasa sedih, masygul dan gundah gulana tak lahir karena kontradiksi harapan dengan  kenyataan. Segala rasa itu adalah kesan maknawi yang dialirkan Sang Ilah ke hati hamba yang Ia kehendaki.”
“Tak jarang, seseorang yang hidup dalam kemiskinan, cacat fisik dan kepelikan lain yang menyusahkan, nyatanya bisa menghirup perasaan legawa, sejahtera, serta bahagia. Rasa hati yang positif itu bisa menjalar ke kawan-kawan dekatnya, bahkan kepada orang yang memandang wajahnya atau menyebut dirinya.”
“Banyak pula orang yang hidup dalam kemewahan materi, keperkasaan raga, jaminan masa depan, dan kenyamanan, tapi, dengan segenap fasilitas itu, ia tak merasakan damai. Hatinya sempit, keruh, susah, sumpek dan penuh gelisah. Siapa saja yang membicarakan orang semacam ini bakal merasakan suntuk, apalagi memandangnya atau berkumpul bersamanya.”
Begitulah Habib Abdullah bin Husein bin Thahir membaca gelagat manusia dalam kehidupannya. Sungguh tepat kiranya. Manusia memang sering teperdaya. Mereka senantiasa menyangka bahwa kebahagiaan hanya bisa direngkuh dengan kebendaan. Kekayaan pun mereka kejar-kejar setengah mati. Dan begitu mereka dapat, ternyata semua itu hampa, kosong, tak ada apa-apanya.

DAJJAL
“Dunia ini tak ada bedanya dengan Dajjal. Sebuah hadis Nabi SAW mengenalkan sosok Dajjal kepada kita: Ia (Dajjal) datang dengan membawa surga dan nerakanya sendiri. Surga versi Dajjal yang disaksikan orang-orang, hakikatnya adalah neraka yang membakar. Sedang neraka milik Dajjal yang terlihat oleh mata, ternyata, itulah embun surga yang menyegarkan.”
“Dunia pun segendang sepenarian. Ia mengusung surga dan neraka. Surga yang dihidangkan oleh dunia ternyata menyimpan  azab, azab di dunia dan azab di akhirat. Sementara itu, neraka dunia yang dirasakan oleh manusia ternyata memendam sejuta nikmat, nikmat dunia dan nikmat akhirat.”
“Manakala kita menyaksikan seseorang dikaruniai anak yang banyak, limpahan emas dan perak, pakaian-pakaian megah, rumah dan kendaraan mewah, makan dan minuman lezat, istri nan jelita, kebun-kebun serta tanah-tanah yang lapang, jabatan tinggi, banyak pengikut, dan popularitas, kita pasti membayangkan bahwa ia telah berada di puncak kenikmatan dan kepuasan. Akan tetapi, bila kita mau merenungkan lebih jauh, kita tersadar: sejatinya ia berada di pusaran keletihan dan kepayahan; ia terkurung di dalam arus kesumpekan dan jurang fitnah serta marabahaya. Betapa tidak. Kalau kita kaji lagi, segenap kesusahan, keresahan dan laku dosa ternyata berpangkal dari kenikmatan-kenikmatan tersebut. Surga yang semu itu pun menjelma neraka.”
“Coba kita amati orang yang hidupnya pas-pasan dan merasa cukup dengan semua itu, yang jalan hidupnya zuhud, anaknya sedikit, pakaian dan rumah tinggalnya sederhana, tak bermodal, bukan tuan tanah, khumul dan tak dihiraukan orang banyak, serta menyepi dari keramaian, niscaya akan terbit rasa iba di hati kita akan keadaannya. Kita bakal menyangka bahwa orang seperti ini senantiasa digelayuti kesedihan. Kita takkan pernah tahu bahwa hati orang macam inilah yang sebenarnya jauh lebih bahagia dan damai dari orang model pertama tadi.”
“Itu masih di dalam tataran dunia. Di akhirat kelak, sang manusia tak berpunya akan beroleh harapan selamat dan sukses lebih besar dari si kaya raya. Dari sini kita bisa menyerap kearifan: neraka dunia sebenarnya adalah surga. Memang, tak ada kata rehat atau enak dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi bila kita membaca ihwal kedua macam orang di atas, kita bisa menyaksikan perbedaan yang sangat nyata.”
Itulah kenisbian dunia yang dikuak oleh Habib Abdullah. Semoga mata kita terbuka hingga bisa lebih bijak lagi dalam menyikapi hidup. Bila dikaruniai rizki lebih, mungkin kita bisa berbagi, dan bila diberi cobaan kesulitan hidup, kita mampu bersikap kuat dan bersabar. Simaklah doa beliau berikut ini,
“Ya Allah, tuntunlah kami menuju akhlak terindah, sungguh, tak ada yang kuasa mengantar kami ke sana selain diri-Mu. Palingkan jiwa kami dari akhlak-akhlak tak elok, sebab, nyatanya tak ada yang berdaya mengelakkan kami dari semua itu kecuali Engkau.”
www.forsansalaf.com

Perintah Talqin Mayit

Perintah Talqin Mayit

Submitted by forsan salaf on Sunday, 17 October 201014 Comments
talqin mayitTelah umum dalam masyarakat kita, selesai jenazah dimakamkan salah seorang dari pihak keluarga mayit duduk disamping makam lalu mulai melafadzkan bacaan talqin[i] bagi mayit. Namun dewasa ini, ada satu kelompok yang mengklaim dirinya paling  mengikuti al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa talqin mayit adalah bid’ah karena tidak memiliki landasan dalam syari’at serta tidak bermanfaat bagi si mayit. Permasalahan semacam ini telah menjadi polemik dalam masyarakat, benarkah talqin mayit tidak memiliki landasan syari’at padahal telah dilakukan oleh para ulama’ pendahulu kita ?.
Oleh karena itu, kami akan membahas  tentang dalil-dalil yang menjadi landasan talqin mayit agar bisa memberikan kejelasan pada masyarakat.

Dasar hukum talqin mayit

Salah satu dasar hukum mengenai talqin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, imam Abi Dawud, dan imam An Nasai  :

لقنوا موتاكم لا إله إلا الله

“Talqinilah orang-orang mati kalian dengan لا إله إلا الله
Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud lafadz  موتاكم dalam hadits diatas orang-orang yang hampir mati bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya.
Akan tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. karena menurut kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya bukan makna aslinya. Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah mayit kalian sebelum matinya”  maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati) tapi makna majasnya (orang yang hampir mati).
Sedangkan dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang dipilih  oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.
Selain hadits di atas, masih ada hadits lain yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah dikuburkan, yaitu :

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني

“Jika salah satu diantara kalian  mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan duduk. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan berkata : “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan kalian tidak akan merasakannya. Kemudian hendaklah berkata : “ sebutlah sesuatu  yang kamu bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah SWT, Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab Mungkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata : “mari kita pergi. Kita tidak akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya (jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan hujjah) baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki bertanya : wahai Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ?Maka Rasulullah menjawab : nisbatkan kepada Hawa, wahai fulan bin Hawa” (H.R. Thabrani) (2).
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa  mentalqini mayit adalah mustahab (sunah)(3).

Hadits ini memang termasuk hadist yang dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadloilul a`mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shohih dan hadits hasan lidzatih) dan juga tidak termasuk hadits yang matruk (ditinggalkan)(4). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.
Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .

“Apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan berkata : mintalah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mintalah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)(5).
Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :

وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم

Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir(6).

Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa terhibur dengannya.
Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT :

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “

Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut(7). Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin.

Referensi

(1)شرح النووي على صحيح مسلم – (6 / 219(

1 ( كتاب الجنائز)  916 الجنازة مشتقة من جنز إذا ستر ذكره بن فارس وغيره والمضارع يجنز بكسر النون والجنازة بكسر الجيم وفتحها والكسر أفصح ويقال بالفتح للميت وبالكسر للنعش عليه ميت ويقال عكسه حكاه صاحب المطالع والجمع جنائز بالفتح لا غير قوله صلى الله عليه وسلم لقنوا موتاكم لا إله إلا الله معناه من حضره الموت والمراد ذكروه لا إله إلا الله لتكون آخر كلامه كما في الحديث من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة والأمر بهذا التلقين أمر ندب وأجمع العلماء على هذا التلقين وكرهوا الاكثار عليه والموالاة لئلا يضجر بضيق حاله وشدة كربه فيكره ذلك بقلبه ويتكلم بما لا يليق قالوا وإذا قاله مرة لا يكرر عليه إلا أن يتكلم بعده بكلام آخر فيعاد التعريض به ليكون آخر كلامه ويتضمن الحديث الحضور عند المحتضر لتذكيره وتأنيسه واغماض عينيه والقيام بحقوقه وهذا مجمع عليه قوله وحدثنا قتيبة حدثنا عبد العزيز الدراوردي وروح وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة أخبرنا خالد بن مخلد أخبرنا سليمان بن بلال جميعا بهذا الاسناد هكذا هو في جميع النسخ وهو صحيح قال أبو علي الغساني وغيره معناه عن عمارة بن غزية الذي سبق فيه الاسناد الأول ومعناه روى عنه الدراوردي وسليمان بن بلال وهو كما قاله

(2)المعجم الكبير للطبراني – (ج 7 / ص 286(

حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ أَنَسُ بن سَلْمٍ الْخَوْلانِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن إِبْرَاهِيمَ بن الْعَلاءِ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بن عَيَّاشٍ، حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ بن مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ، عَنْ يَحْيَى بن أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ سَعِيدِ بن عَبْدِ اللَّهِ الأَوْدِيِّ، قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ وَهُوَ فِي النَّزْعِ، فَقَالَ: إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:”إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ”.

المقاصد الحسنة للسخاوي ج 1 ص 167

الطبراني في الدعاء ومعجمه الكبير من طريق محمد بن إبراهيم بن العلاء الحمصي حدثنا إسماعيل بن عياش حدثنا عبد الله بن محمد القرشي عن يحيى بن أبي كثير عن سعيد بن عبد الله الأودي وقال شهدت أبا أمامة وهو في النزع فقال إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمر رسول الله أن نصنع بموتانا أمرنا رسول الله فقال (إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعدا ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشد رحمك الله ولكن لا تشعرون فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا ومحمد نبيا وبالقرآن إماما فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه يقول انطلق ما تقعد عند من لقن حجته فيكون الله حجيجه دونهما) فقال رجل يا رسول الله فإن لم يعرف اسم أمه قال (فلينسبه إلى حواء فلان ابن حواء)

(3)الأذكار ج 1 ص 162

وأما تلقـين الـميت بعد الدفن، فقد قال جماعة كثـيرون من أصحابنا بـاستـحبـابه، ومـمن نصَّ علـى استـحبـابه: القاضي حسين فـي تعلـيقه، وصاحبه أبو سعد الـمتولـي فـي كتابه «التتـمة»، والشيخ الإمام الزاهد أبو الفتـح نصر بن إبراهيـم بن نصر الـمقدسي، والإمام أبو القاسم الرافعي وغيرهم، ونقله القاضي حسين عن الأصحاب. وأما لفظه: فقال الشيخ نصر: إذا فرغ من دفنه يقـف عند رأسه ويقول: يا فلان بن فلان، اذكر العهد الذي خرجت علـيه من الدنـيا: شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن مـحمداً عبدُه ورسوله، وأن الساعة آتـيةٌ لا ريبَ فـيها، وأن الله ببعث من فـي القبور، قل: رضيت بـالله ربـاً، وبـالإسلام ديناً، وبـمـحمد نبـياً، وبـالكعبة قبلةً، وبـالقرآن إماماً، وبـالـمسلـمين إخواناً، ربـي الله، لا إله إلا هو، وهو ربُّ العرش العظيـم، هذا لفظ الشيخ نصر الـمقدسي فـي كتابه «التهذيب»، ولفظ البـاقـين بنـحوه، وفـي لفظ بعضهم نقص عنه، ثم منهم من يقول: يا عبد الله بن أمة الله، ومنهم من يقول: يا عبد الله بن حواء، ومنهم من يقول: يا فلان ـ بـاسمه ـ ابن أمة الله، أو يا فلان بن حواء، وكله بـمعنًى. وسئل الشيخ الإمام أبو عمرو بن الصلاح ـ رحمه الله ـ عن هذا التلقـين، فقال فـي «فتاويه»: التلقـين هو الذي نـختاره ونعمل به، وذكره جماعة من أصحابنا الـخراسانـيـين، قال: وقد روينا فيه حديثا من حديث أبي أمامة ليس بالقائم إسناده ” (1) ، قال الحافظ بعد تخريجه : هذا حديث غريب ، وسند الحديث من الطريقين ضعيف جدا ولكن اعتضد بشواهد ، وبعمل أهل الشام به قديما. قال : وأما تلقين الطفل الرضيع ، فما له مستند يعتمد ، ولا نراه ، والله أعلم.

الجوهرة النيرة ص2 ج2

[مَنْ كَانَ آخِرُ كَلامِهِ لا إلَهَ إلا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ] وَأَمَّا تَلْقِينُ الْمَيِّتِ فِي الْقَبْرِ فَمَشْرُوعٌ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ لأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحْيِيه فِي الْقَبْرِ وَصُورَتُهُ أَنْ يُقَالَ يَا فُلانُ بْنَ فُلانٍ أَوْ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ اُذْكُرْ دِينَك الَّذِي كُنْت عَلَيْهِ وَقَدْ رَضِيت بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا. فَإِنْ قِيلَ إذَا مَاتَ مَتَى يُسْأَلُ اخْتَلَفُوا فِيهِ قَالَ بَعْضُهُمْ حَتَّى يُدْفَنَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فِي بَيْتِهِ تُقْبَضُ عَلَيْهِ الأَرْضُ وَتَنْطَبِقُ عَلَيْهِ كَالْقَبْرِ وَالْقَوْلُ الأَوَّلُ أَشْهَرُ لأَنَّ الآثَارَ وَرَدَتْ بِهِ. فَإِنْ قِيلَ هَلْ يُسْأَلُ الطِّفْلُ الرَّضِيعُ فَالْجَوَابُ أَنَّ كُلَّ ذِي رُوحٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَإِنَّهُ يُسْأَلُ فِي الْقَبْرِ بِإِجْمَاعِ أَهْلِ السُّنَّةِ لَكِنْ يُلَقِّنُهُ الْمَلَكُ فَيَقُولُ لَهُ مَنْ رَبُّك ثُمَّ يَقُولُ لَهُ قُلْ اللَّهَ رَبِّي ثُمَّ يَقُولُ لَهُ مَا دِينُك ثُمَّ يَقُولُ لَهُ قُلْ دِينِي الإِسْلامُ ثُمَّ يَقُولُ لَهُ مَنْ نَبِيُّك ثُمَّ يَقُولُ لَهُ قُلْ نَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لا يُلَقِّنُهُ بَلْ يُلْهِمُهُ اللَّهُ حَتَّى يُجِيبَ كَمَا أُلْهِمَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلامُ فِي الْمَهْدِ.

فتاوى ابن حجر الهيثمي ج 5 ص 226

وَسُئِلَ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ بَعْدَ صَبِّ التُّرَابِ أَوْ قَبْلَهُ وَإِذَا مَاتَ طِفْلٌ بَعْدَ مَوْتِ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا كَيْفَ الدُّعَاءُ فِي الصَّلاةِ عَلَيْهِ ؟ (فَأَجَابَ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ لا يُسَنُّ التَّلْقِينُ قَبْلَ إهَالَةِ التُّرَابِ بَلْ بَعْدَهُ كَمَا اعْتَمَدَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ وَجَزَمْتُ بِهِ فِي شَرْحِ الإِرْشَادِ وَإِنْ اخْتَارَ ابْنُ الصَّلاحِ أَنَّهُ يَكُونُ قَبْلَ الإِهَالَةِ قَالَ الإِسْنَوِيُّ وَسَوَاءٌ فِيمَا قَالُوهُ فِي الدُّعَاءِ فِي الصَّلاةِ عَلَى الطِّفْلِ مَاتَ فِي حَيَاةِ أَبَوَيْهِ أَمْ لا لَكِنْ خَالَفَهُ الزَّرْكَشِيُّ فَقَالَ إنْ كَانَ أَبَوَاهُ مَيِّتَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا أَتَى بِمَا يَقْتَضِيهِ الْحَالُ وَالدَّمِيرِيُّ فَقَالَ إنْ كَانَ أَبَوَاهُ مَيِّتَيْنِ لَمْ يَدْعُ لَهُمَا. وَاَلَّذِي قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ أَوْجَهُ كَمَا ذَكَرْتُهُ فِي شَرْحِ الْعُبَابِ فَحِينَئِذٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لأَبَوَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَهَذِهِ الأَوْصَافُ كُلُّهَا لائِقَةٌ بِالْمَيِّتِ وَالْحَيِّ فَلْيَأْتِ بِهَا سَوَاءٌ كَانَا حَيَّيْنِ أَوْ مَيِّتَيْنِ أَمَّا السَّلَفُ وَالذُّخْرُ فَوَاضِحٌ وَأَمَّا الْفَرَطُ فَهُوَ السَّابِقُ الْمُهَيِّئُ لِمَصَالِحِهِمَا فِي الآخِرَةِ وَلَيْسَ الْمُرَادُ السَّبْقَ بِالْمَوْتِ بَلْ السَّبْقَ بِتَهْيِئَةِ الْمَصَالِحِ وَلا شَكَّ أَنَّ الْمَيِّتَ يَحْتَاجُ إلَى مَنْ يَسْبِقُهُ إلَى الْجَنَّةِ أَوْ الْمَوْقِفِ لِيُهَيِّئَ لَهُ الْمَصَالِحَ وَوَلَدُهُ الطِّفْلُ كَذَلِكَ. وَأَمَّا الْعِظَةُ فَتَخْتَصُّ بِالْحَيِّ فَيَقُولُ وَعِظَةً لِلْحَيِّ مِنْ أَبَوَيْهِ فَإِنْ مَاتَا حَذَفَ هَذِهِ اللَّفْظَةَ وَكَذَلِكَ الاعْتِبَارُ وَالشَّفِيعُ عَامٌّ لِلْحَيِّ وَالْمَيِّتِ فَيَأْتِي بِهِ فِيهِمَا وَتَثْقِيلُ الْمَوَازِينِ كَذَلِكَ بِخِلافِ أَفْرِغْ الصَّبْرَ وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَأْتِي بِالأَلْفَاظِ كُلِّهَا سَوَاءٌ كَانَا حَيَّيْنِ أَمْ مَيِّتَيْنِ إلا قَوْلَهُ عِظَةً وَاعْتِبَارًا وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ فَإِنَّهُ لا يَأْتِي بِهَا إلا إذَا كَانَا حَيَّيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا فَإِنْ كَانَا حَيَّيْنِ فَوَاضِحٌ أَوْ أَحَدُهُمَا فَقَطْ ذَكَرَهُ فَقَالَ وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا لِلْحَيِّ مِنْهُمَا وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ عَلَى قَلْبِ الْحَيِّ مِنْهُمَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج  ج 1  ص 447

(ويسنُّ أن يقف جماعة بعد دفنه عند قبره ساعة يسألون لـه التثبيت) لأنه كان إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه وقال: «اسْتَغْفِرُوا لأخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ، فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ» رواه البزّار، وقال الحاكم: إنه صحيح الإسناد. وروى مسلم عن عمرو بن العاص أنه قال: «إذا دفنتموني فأقيموا بعد ذلك حول قبري ساعة قد ما تُنْحَرُ جزور ويفرَّقُ لحمها حتى أَستأنِسَ بكم وأعلم ماذا أراجع رُسُلَ ربي». ويسنُّ تلقينُ الميت المكلف بعد الدفن، فيقال لـه: «يا عبداللـه ابن أَمَةِ اللَّهِ أَذْكُر ما خرجت عليه من دار الدنيا شهادة أن لا إلـه إلاَّ اللـه وأن محمداً رسول اللـه، وأن الجنة حقّ، وأن النار حقّ، وأن البعث حقّ، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن اللـه يبعث من في القبور، وأنك رضيت باللـه ربّاً وبالإسلام ديناً وبمحمدٍ نبيّاً وبالقرآن إماماً وبالكعبة قِبْلَةً وبالمؤمنين إخواناً». لحديث وَرَدَ فيه. قال في الروضة: والحديث إن كان ضعيفاً لكنه اعتضد بشواهد من الأحاديث الصحيحة، ولم تزل الناس على العمل به من العصر الأوّل في زمن من يُقْتَدَى به، وقد قال تعالى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ} ؛ وَأَحْوَجُ ما يكون العبد إلى التذكير في هذه الحالة؛ ويقعد الملقِّنُ عند رأس القبر. أما غير المكلَّف، وهو الطفل ونحوه ممن لم يتقدم لـه تكليفٌ، فلا يسنُّ تلقينه؛ لأنه لا يفتن في قبره. (و) يسنُّ (لجيران أهلـه) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت، (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهلـه الأقارب، (يومهم وليلتهم) لقولـه لما جاء خبر قتل جعفر: «اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَاماً فَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ» حسَّنه الترمذي وصحّحه الحاكم؛ ولأنه بِرٌّ ومعروف.

تتمة في   التلقين   بعد الدفن   اعلم أن مسألة   التلقين   قبل الموت لم نعلم فيها خلافا وأما بعد الموت وهي التي تقدم ذكرها في الهداية وغيرها فاختلف الأئمة والعلماء فيها فالحنفية لهم فيها ثلاثة أقوال الأول أنه يلقن بعد الموت لعود الروح للسؤال   والثاني لا يلقن   والثالث لا يؤمر به ولا ينهى عنه   وعند الشافعية يلقن كما قال ابن حجر في التحفة ويستحب تلقين بالغ عاقل أو مجنون سبق له تكليف ولو شهيدا كما اقتضاه إطلاقهم بعد تمام الدفن لخبر فيه وضعفه اعتضد بشواهد على أنه من الفضائل فاندفع قول ابن عبد السلام أنه بدعة انتهى   وأما عند الإمام مالك نفسه فمكروه قال الشيخ علي المالكي في كتابه كفاية الطالب الرباني لختم رسالة ابن أبي زيد القيرواني ما لفظه   وأرخص بمعنى استحب بعض العلماء هو ابن حبيب في القراءة عند رأسه أو رجليه أو غيرهما ذلك بسورة يس لما روي أنه قال ما من ميت يقرأ عند رأسه سورة يس إلا هون الله تعالى عليه ولم يكن ذلك أي ما ذكر من القراءة عند المحتضر عند مالك رحمه الله تعالى أمرا معمولا وإنما هو مكروه عنده وكذا يكره عند تلقينه بعد وضعه في قبره انتهى   وأما الحنبلية فعند أكثرهم يستحب قال الشيخ عبد القادر بن عمر الشيباني الحنبلي في شرح دليل الطالب ما لفظه   واستحب الأكثر تلقينه بعد الدفن انتهى   واستفيد منه أن غير الأكثر من الحنابلة يقول بعدم  التلقين   بعد الموت

سبل السلام – (ج 3 / ص 155(

وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ .أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا .

(4)أضواء البيان ج 6 ص 225

ومما قاله ابن القيم في كلامه الطويل، قوله: وقد ترجم الحافظ أبو محمد عبد الحقّ الأشبيلي على هذا، فقال: ذكر ما جاء أن الموتى يسألون عن الأحياء، ويعرفون أقوالهم وأعمالهم، ثم قال: ذكر أبو عمر بن عبد البرّ من حديث ابن عباس، عن النبيّ صلى الله عليه وسلّم: «ما من رجل يمرّ بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه فيسلم عليه، إلاّ عرفه وردّ عليه السّلام». ويروى من حديث أبي هريرة مرفوعًا، قال: «فإن لم يعرفه وسلّم عليه ردّ عليه السلام»، قال: ويروى من حديث عائشة رضي اللَّه عنها، أنّها قالت: قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم: «ما من رجل يزور قبر أخيه فيجلس عنده، إلاّ استأنس به حتى يقوم»، واحتجّ الحافظ أبو محمد في هذا الباب بما رواه أبو داود في سننه، من حديث أبي هريرة، قال: قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم: «ما من أحد يسلّم عليّ إلاّ ردّ اللَّه عليّ روحي حتى أردّ عليه السّلام». ثم ذكر ابن القيّم عن عبد الحق وغيره مرائي وآثارًا في الموضوع، ثم قال في كلامه الطويل: ويدلّ على هذا أيضًا ما جرى عليه عمل الناس قديمًا وإلى الآن، من تلقين الميت في قبره ولولا أنه يسمع ذلك وينتفع به لم يكن فيه فائدة، وكان عبثًا. وقد سئل عنه الإمام أحمد رحمه اللَّه، فاستحسنه واحتجّ عليه بالعمل. ويروى فيه حديث ضعيف: ذكر الطبراني في معجمه من حديث أبي أُمامة، قال: قال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلّم: «إذا مات أحدكم فسوّيتم عليه التراب، فليقم أحدكم على رأس قبره، فيقول: يا فلان ابن فلانة»، الحديث. وفيه: «اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة ألا إله إلا اللَّه، وأن محمّدًا رسول اللَّه، وأنك رضيت باللَّه ربًّا، وبالإسلام دينًا، وبمحمّد نبيًّا، وبالقرءان إمامًا»، الحديث. ثم قال ابن القيّم: فهذا الحديث وإن لم يثبت، فاتصال العمل به في سائر الأمصار والأعصار من غير إنكار كاف في العمل به

المجموع شرح المهذب ج 5 ص 226

الرابعة: قال جماعات من أصحابنا يستحب تلقين الميت عقب دفنه فيجلس عند رأسه إنسان ويقول: «يا فلان ابن فلان ويا عبد الله بن أمة الله اذكر العهد الذي خرجت عليه من الدنيا، شهادة أن لا إله إلاّ الله وحده لا شريك له. وأن محمداً عبده ورسوله وأن الجنة حق وأن النار حق وأن البعث حق وأن الساعة آتية لا ريب فيها وأن الله يبعث من في القبور. وإنك رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد نبياً وبالقرآن إماماً وبالكعبة قبلة وبالمؤمنين إخواناً» زاد الشيخ نصر: «ربي الله لا إله إلاّ هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم» فهذا التلقين عندهم مستحب، وممن نص على استحبابه القاضي حسين والمتولي والشيخ نصر المقدسي والرافعي وغيرهم. ونقله القاضي حسين عن أصحابنا مطلقاً، وسئل الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله عنه فقال: (التلقين هو الذي نختاره ونعمل به، قال: وروينا فيه حديثاً من حديث أبي أمامة ليس إسناده بالقائم، لكن اعتضد بشواهد، وبعمل أهل الشام قديماً) هذا كلام أبي عمرو. قلت: حديث أبي أمامة رواه أبو القاسم الطبراني في معجمه بإسناد ضعيف، ولفظه: عن سعيد بن عبد الله الأزدي قال: «شهدت أبا أمامة رضي الله عنه وهو في النزع فقال: إذا مت فاصنعوا بي كما أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم فقال: إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل: يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يستوى قاعداً، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يقول: أرشدنا رحمك الله ولكن لا تشعرون، فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلاّ الله وأن محمداً عبده ورسوله وإنك رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد نبياً وبالقرآن إماماً، فإن منكراً ونكيراً يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول انطلق بنا ما نقعد عند من لقن حجته فقال رجل يا رسول الله فان لم نعرف أمه قال فينسبه إلى امه حواء يا فلان ابن حواء ” قلت فهذا الحديث وان كان ضعيفا فيستأنس به وقد اتفق علماء المحدثين وغيرهم علي المسامحة في أحاديث الفضائل والترغيب والترهيب وقد أعتضد بشواهد من الاحاديث كحديث ” واسألوا له الثبيت ” ووصية عمرو بن العاص وهما صحيحان سبق بيانهما قريبا ولم يزل اهل الشام علي العمل بهذا في زمن من يقتدى به والي الآن وهذا التلقين انما ” هو في حق المكلف الميت اما الصبى فلا يلقن والله اعلم

(5)سبل السلام – (ج 3 / ص 151)

وَعَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ { : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ } رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .

(6)رياض الصالحين – (ج 1 / ص 477)

وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم

(7)التاج والإكليل لمختصر خليل ج 3 ص 3

قال أبو حامد : ويستحب تلقين الميت بعد الدفن. وقال ابن العربي في مسالكه: إذا أدخل الميت قبره فإنه يستحب تلقينه في تلك الساعة وهو فعل أهل المدينة الصالحين من الأخيار لأنه مطايق لقوله تعالى: {وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين} وأحوج ما يكون العبد إلى التذكير بالله عند سؤال الملائكة

لسان العرب

اللَّقْنُ: مصدر لَقِنَ الشيءَ يَلْقَنُه لَقْناً ، وكذلك الكلامَ، وتَلَقَّنه : فَهِمه. ولَقَّنَه إِياه: فَهَّمه. وتَلَقَّنته: أَخذته لَقانِـيَةً. وقد لَقَّنَنـي فلانٌ كلاماً تَلْقـيناً أَي فَهَّمَنـي منه ما لـم أَفْهَم. والتَّلْقِـين: كالتَّفْهِيم.

تفسير تنوير الأذهان ص 125 ج 3

{ان} ما {انت الا نذير} منذر بالنار والعقاب واما الاسماع البتة فليس من وظائفك ولا حيلة لك اليه فى المطبوع على قلوبهم الذين هم بمنزلة الموتى وقولـه {ان اللـه يسمع} الخ وقولـه {انك لا تهدى من احببت ولكن اللـه يهدى من يشاء} وقولـه {ليس لك من الامر شئ} وغير ذلك لتمييز مقام الالوهية عن مقام النبوة كيلا يشتبها على الامة فيضلوا عن سبيل اللـه كما ضل بعض الامم السالفة فقال بعضهم عزير ابن اللـه وقال بعضهم المسيح ابن اللـه وذلك من كمال رحمته لـهذه الامة وحسن توفيقه. يقول الفقير ايقظه اللـه القدير ان قلت قد ثبت انه عليه السلام امر يوم بدر بطرح اجساد الكفار فى القليب ثم ناداهم باسمائهم وقال ” هل وجدتم ما وعد اللـه ورسولـه حقا فانى وجدت ما وعدنى اللـه حقا ” فقال عمر رضى اللـه عنه يا رسول اللـه كيف تكلم اجساد الارواح فيها فقال عليه السلام ” ما انتم با سمع لما اقول منهم غير انهم لا يستطيعون ان يردوات شيأ ” فهذا الخبر يقتضى ان النبى عليه السلام اسمع من فى القليب وهم موتى وايضا تلقين الميت بعد الدفن للاسماع والا فلا معنى لـه. قلت اما الاول فيحتمل ان اللـه تعالى احيى اهل القليب حينئذ حتى سمعوا كلام رسول اللـه توبيخالـهم وتصغيرا ونقمة وحسرة والا فالميت من حيث ميت ليس من شأنه السماع وقولـه عليه السلام ” ما انتم باسمع ” الخ يدل على ان الارواح اسمع من الاجساد مع الارواح لزوال حجاب الحس وانخراقة. واما الثانى فانما يسمعه اللـه ايضا بعد احيائه بمعنى ان يتعلق الروح بالجسد تعلقا شديدا بحيث يكون كما فى الدنيا فقد اسمع الرسول عليه السلام وكذا الملقن باسماع اللـه تعالى وخلق الحياة والا فليس من شأن احد الاسماع كما انه ليس من شأن الميت السماع واللـه اعلم

Ahlul Bait Keturunan Rasulullah SAW

Ahlul Bait Keturunan Rasulullah SAW

Submitted by forsan salaf on Sunday, 5 December 20105 Comments
ahlubaitSyubhat :
Banyak orang yang mengaku mencintai ahlul bait akan tetapi membenci para istri Rasulullah SAW.  Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul bait dalam ayat :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)

”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Ahzab : 33 )
Hanyalah Sayidina Ali, Fatimah, Hasan dan Husain r.a, sesuai dengan suatu riwayat yang menceritakan bahwa ketika ayat tersebut turun di rumah Umi Salamah (salah satu istri Rasul), Dia menanyakan apakah dia termasuk dalam ahlul bait, Rasul menjawab “Tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan”, dari situ mereka membuat kesimpulan bahwa Istri Rasul bukanlah termasuk ahlul bait.
Terdapat pula kaum yang mempertanyakan penisbatan nasab Sayidina Hasan dan Husain kepada Rasulullah karena  dalam islam nasab seseorang diambil dari jalur ayah bukan Ibu, sedangkan nasab mereka bersambung kepada Rasulullah melalui jalur ibu mereka yaitu Sayidatuna Fatimah bukan melalui jalur ayah mereka.
Kalaupun mereka termasuk ahlul bait ataupun keluarga Nabi, lantas benarkah mereka menjadi mulia karena memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah, bukankah islam hanya  memandang ketakwaan sebagai patokan keutamaan seseorang bukan dengan nasabnya sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat : 13 )
Kami Menjawab

Makna Ahlul Bait

Secara harfiyah arti Ahlul Bait adalah penghuni rumah atau kerabat. Berarti ahlul bait Rasul adalah semua penghuni rumah Rasul, dari sini menjadi jelas bahwa istri-istri Beliau termasuk di dalamnya(1). Oleh karena itu tidak diragukan bahwa ahlil bait dalam ayat :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)

”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Ahzab : 33 )
Mencakup istri-istri Beliau. Selain itu ayat-ayat yang ada sebelum dan sesudah ayat ini berisi mengenai petunjuk Allah terhadap istri-istri Nabi. Akan tetapi jika yang dimaksud dengan ahlul bait dalam ayat ini hanya istri-istri beliau saja seperti yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir,  maka akan terdapat sedikit kemusykilan karena kata ganti yang digunakan dalam ayat ini adalah kata ganti untuk laki-laki ((كُم bukan untuk wanita (كنّ). berarti yang dimaksud dengan ahlul bait bukan hanya istri-istri beliau saja akan tetapi mencakup juga keluarga Rasul yang lain (dalam bahasa arab, kata ganti laki-laki jamak bisa juga digunakan untuk sekumpulan laki-laki dan wanita, berbeda dengan kata ganti wanita jamak yang hanya bisa digunakan untuk sekelompok wanita saja), mereka adalah Sayidatuna Fatimah, Sayidina Ali, Hasan dan Husain, ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi:

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال  نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فاذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا مَعَهُمْ يا نَبِيَّ اللَّهِ قال أَنْتِ على مَكَانِكِ وَأَنْتِ على خَيْرٍ قال هذا حَدِيثٌ غَرِيبٌ من حديث عَطَاءٍ عن عُمَرَ بن أبي سَلَمَةَ

“Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Rasulullah saw, berkata “ayat ini turun kepada Nabi saw di rumah Umi Salamah yaitu ayat ”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”, kemudian Nabi memanggil Fatimah, Hasan dan Husain, dan menaungi mereka dengan kain kisa`, ketika itu Ali berada di belakang punggungnya kemudian Rasul menaunginya pula dengan kain kisa`, kemudian berkata “ Wahai Allah, inilah Ahlil baitku maka hilangkanlah dari mereka kotoran dan sucikanlah mereka”. Umu Salamah pun berkata “apakah aku bersama mereka wahai rasulullah?”, Rasulullah menjawab “Engkau berada di tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan”” (2).

Perkataan Rasulullah kepada Umi Salamah “Engkau berada di kedudukanmu dan engkau berada dalam kebaikan” tidak berarti bahwa istri Rasulullah bukan termasuk dalam ahlul bait akan tetapi maksudnya adalah Umu salamah sudah memiliki kedudukan sebagai ahlil bait karena dia adalah istri Rasul oleh karena itu Rasul berkata “dan engkau berada dalam kebaikan”. Selain itu tidak mungkin Rasulullah memasukkan Umi salamah ke dalam  naungan kisa` karena disana ada Sayidina Ali yang merupakan lelaki ajnabi baginya.
Termasuk dalam lingkup ahlul bait adalah paman-paman beliau yang muslim begitu juga semua keluarga nabi yang diharamkan untuk menerima zakat, ini sesuai dengan perkataan Nabi kepada cucunya ketika mengeluarkan kurma zakat dari mulutnya :

أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ آلَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لَا يَأْكُلُونَ الصَّدَقَةَ  ) صحيح البخاري – (2 / 541(

“Apakah engkau tahu bahwa keluarga Muhammad tidak memakan shadaqah (zakat)” (HR Bukhari)
Dari hadits ini bisa kita ketahui bahwa keluarga Nabi (آل النبي) adalah mereka yang diharamkan untuk menerima zakat, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib menurut madzhab Syafii, berarti para paman-paman beliau termasuk keluarga nabi yang harus dihormati.
Jika mereka termasuk آل النبي, berarti mereka termasuk juga dalam ahlul bait nabi karena secara bahasa arti آل tak berbeda dengan Ahli yaitu kerabat. Oleh karena itu sebagian ahli bahasa menganggap  tidak ada perbedaan antara istilah ahlu dan Al (آل). Ini bisa dilihat dari tashghir keduannya ke dalam satu lafadz yang sama yaitu اهيل (3).

Nasab sayidina Hasan dan Husain

Sedangkan mengenai nasab Sayidina Hasan dan Husain, yang dinisbatkan kepada Rasulullah melalui jalur ibu mereka yaitu Sayidatuna Fatimah.  Hal ini merupakan kekhususan mereka, ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw :

عن جَابِرٍ رضي اللَّهُ عنه قال قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم  إِنَّ اللَّهَ عز وجل جَعَلَ ذُرِّيَّةَ كل نَبِيٍّ في صُلْبِهِ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ ذُرِّيَّتِي في صُلْبِ عَلِيِّ بن أبي طَالِبٍ رضي اللَّهُ عنه

“Dari Jabir t berkata” Rasululah saw bersabda : Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dalam sulbinya masing-masing dan sesungguhnya Allah menjadikan keturunanku dalam sulbi Ali bin Abi Thalib”.(4)
Akan tetapi tidak semua keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib nasabnya disambungkan kepada Rasulullah. Karena penisbatan ini hanya dikhususkan bagi keturunan Sayidina Ali dari Sayidatuna Fatimah, putri Rasulullah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat lain :

عن عُمَرَ رضي اللَّهُ عنه قال سمعت رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم يقول  كُلُّ بني أُنْثَى فإن عَصَبَتَهُمْ لأَبِيهِمْ ما خَلا وَلَدَ فَاطِمَةَ فَإِنِّي أنا عَصَبَتَهُمْ وأنا أَبُوهُمْ

“Dari Umar, berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, setiap anak dari seorang wanita dinisbatkan kepada ayahnya kecuali anak Fatimah karena sesungguhnya akulah ashabah mereka dan akulah ayah mereka”.(5)
Disamping itu, dalil lain yang menjelaskan akan tetapnya keturunan Rasulullah dan sekaligus menjadi ahlu bait beliau yaitu :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي

Dari Jabir bin Abdillah berkata : aku melihat Rasulullah SAW ketika haji di hari Arafah sedangkan beliau ada di atas ontanya berkhutbah dan aku mendengar beliau berkata :” wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan pada diri kalian jika kalian mengikutinya maka tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku ahlubaitku “ (H.R. Tirmidzi & Ahmad,).
Dalam riwayat lain:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأَرْضِ وَعِتْرَتِى أَهْلُ بَيْتِى وَإِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ »

Dari Abi Sa’id Al-Khudzri berkata :” Rasulullah SAW bersabda : aku tinggalkan pada diri kalian 2 hal, salah satunya lebih besar dari yang lain, yaitu kitabullah (al-Qur’an) sebuah tali penghubung yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan keturunannku ahlu bait-ku, sesungguhnya keduanya tidak akan terputus hingga datang sewaktu di telaga Haudh “(H.R. Tirmidzi, Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Abi Ya’la, dan lain-lain).
Hadits di atas menjelaskan secara gamblang bahwa :
i.            Keturunan beliau tidak terputus hingga hari kiamat, karena beliau menyatakan dengan ‘itroh (keturunan) yaitu keturunan dari sayyidah Fatimah, putri beliau yang diperjelas dengan pernyataan beliau :” keduanya (al-Qur’an dan keturunan beliau) tidak akan terputus hingga waktu di telaga Haudh”, karena tidak ada telaga Haudh kecuali di hari kiamat. (6)
ii.            Semua dari keturunan beliau (anak-anak dari sydt Fatimah dan keturunannya) termasuk Ahlubait dan tidak ada pengkhususan ahlu bait kepada beberapa orang dari keturunan beliau karena beliau tidak men-takhsis sama sekali.
Dengan demikian keturunan dari putri-putri Nabi yang lain meskipun masih bisa dikatakan sebagai dzuriyah Rasul  akan tetapi nasabnya tidak tersambung kepada Rasulullah. Begitu juga anak dari wanita keturunan siti Fatimah yang menikah lelaki yang bukan ahlul bait, maka nasabnya disandarkan kepada ayah mereka bukan kepada Ibunya.

Ayat taqwa

Dalam islam hubungan kekerabatan dengan orang-orang shaleh merupakan anugrah yang patut untuk disyukuri. Dalam Alqur`an Allah Berfirman :

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu” ( Al Kahfi : 82)
Kedua anak yatim tersebut hartanya terjaga karena kesholehan orang tua mereka, diceritakan oleh sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan ابوهما (ayahnya) dalam ayat adalah kakek ketujuh dari pihak ibu(7). Jika ini keadaan mereka maka bagaimana dengan keadaan keturunan pemimpin para shalihin, Rasulullah saw.
Hal ini tidak bertentangan dengan ayat :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat : 13 )
Jika kita perhatikan potongan ayat sebelumnya  yaitu :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al Hujurat : 13 )
Menjadi jelas bahwa ayat ini tidak menafikan keutamaan nasab karena didalamnya Allah berfirman Bahwa Dia telah membagi manusia kedalam beberapa Syu`ub dan qabilah, sedangkan Syu`ub adalah garis keturunan yang tinggi dan qabilah adalah garis keturunan yang berada di bawah Syu’ub(7). Ini menunjukkan bahwa keutamaan nasab diakui dalam islam akan tetapi keutamaan tersebut menjadi tidak berarti jika tidak dibarengi dengan ketakwaan, oleh karena itu di akhir ayat tersebut Allah berfirman “.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.
Dalam hadits sendiri banyak sekali isyarat mengenai hal ini(9), diantaranya adalah perkataan Rasulullah saw :

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ من وَلَدِ إسماعيل وَاصْطَفَى قُرَيْشًا من كِنَانَةَ وَاصْطَفَى من قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي من بَنِي هَاشِمٍ )صحيح مسلم – 4 / 1782)

“Sesungguhnya Allah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari kinanah dan memilih Bani Hasyim dari quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim” (HR Muslim)
Hadits Ini menunjukkan keutamaan nasab Quraisy dan Bani Hasyim, dibandingkan dengan suku lainnya jelas keutamaan di sini semata-mata dari segi keturunan saja.
Oleh karena itu tidak benar jika dikatakan bahwa hubungan kekerabatan dengan Rasulullah tidak bisa bermanfaat sama sekali karena Rasulullah saw sendiri pernah bersabda  :

كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا ما كان من سببي )سنن البيهقي الكبرى – (7 / 63(

“Setiap sebab dan nasab akan terputus di hari qiyamat kecuali sebabku dan nasabku”(Baihaqi)(10)

Ini menunjukkan bahwa hubungan  kekerabatan dengan Rasulullah memiliki manfaat di hari kiamat.
Referensi

(1)المحكم والمحيط الأعظم – (4 / 355)

( وهُمْ أهَلاتٌ حَوْلَ قَيْسِ بنِ عاصِمٍ  إذا أدَلجُوا بالليلِ يَدْعونَ كَوْثَرَا )  قال سيبويه : وقالوا : أهْلاتٌ ….. الى ان قال وأهلُ المذهب : من يدين به .  وأهلُ الأمر : ولاته . وأهلُ البيت : سكانه . وأهلُ بيت النبي صلى الله عليه وسلم : أزواجه وبناته وصهره ، اعني عليا عليه السلام ، وقيل : نساء النبي صلى الله عليه وسلم ، والرجال الذين هم آله . وفي التنزيل : ) إنما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبُ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أهْلَ البَيْتِ ( القراءة أهل بالنصب على المدح ، كما قال : بك الله نرجو الفضل ، وسبحانك الله العظيم ، وعلى النداء ، كأنه قال : يا أهْلَ البيت ، وقوله تعالى لنوح عليه السلام : ) إنَّهُ لَيْسَ مِنْ أهْلِكَ ( قال الزجاج : أراد ليس من أهلِك الذين وعدتك أن أنجيتهم ، قال : ويجوز أن يكون : ليس من أهل دينك .  وأهْلُ كل نبي : أمته .

المصباح المنير – (1 / 28)

( أهل ) الرجل ( يأهل ) و ( يأهل ) ( أهولا ) إذا تزوج و ( تأهل ) كذلك ويطلق ( الأهل ) على الزوجة و ( الأهل ) أهل البيت والأصل فيه القرابة وقد أطلق على الأتباع و ( أهل ) البلد من استوطنه و ( أهل ) العلم من اتصف به والجمع ( الأهلون ) وربما قيل ( الأهالي ) و ( أهل ) الثناء والمجد في الدعاء منصوب على النداء ويجوز رفعه خبر مبتدأ محذوف أي أنت أهل و ( الأهلي ) من الدواب ما ألف المنازل وهو ( أهل ) للإكرام أي مستحق له وقولهم ( أهلا وسهلا ومرحبا ) معناه أتيت قوما أهلا وموضعا سهلا واسعا فابسط نفسك واستأنس ولا تستوحش و ( الإهالة ) بالكسر الودك المذاب و ( استأهلها ) أكلها ويقال ( استأهل ) بمعنى استحق

(2)سنن الترمذي – (5 / 663)

حدثنا قتيبة حدثنا محمد بن سليمان الأصبهاني عن يحيى بن عبيد عن عطاء بن أبي رباح عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال  نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا النبي صلى الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فاذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا مَعَهُمْ يا نَبِيَّ اللَّهِ قال أَنْتِ على مَكَانِكِ وَأَنْتِ على خَيْرٍ قال هذا حَدِيثٌ غَرِيبٌ من حديث عَطَاءٍ عن عُمَرَ بن أبي سَلَمَةَ

صحيح مسلم – (4 / 1883)

حدثنا أبو بَكْرِ بن أبي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بن عبد اللَّهِ بن نُمَيْرٍ واللفظ لِأَبِي بَكْرٍ قالا حدثنا محمد بن بِشْرٍ عن زكريا عن مُصْعَبِ بن شَيْبَةَ عن صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قالت قالت عَائِشَةُ  خَرَجَ النبي صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ من شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ بن عَلِيٍّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ جاء الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ معه ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جاء عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قال { إنما يُرِيدُ الله لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا }

سنن البيهقي الكبرى – (2 / 149(

80 أخبرنا أبو عبد الله محمد بن أحمد بن أبي طاهر الدقاق ببغداد أنبأ أحمد بن عثمان الآدمي ثنا محمد بن عثمان بن أبي شيبة ثنا أبي ثنا محمد بن بشر العبدي ثنا زكريا بن أبي زائدة ثنا مصعب بن شيبة عن صفيه بنت شيبة عن عائشة رضي الله عنها قالت  خرج النبي صلى الله عليه وسلم ذات غداة وعليه مرط مرحل من شعر أسود فجاء الحسن فأدخله معه ثم جاء الحسين فأدخله معه ثم جاءت فاطمة فأدخلها معه ثم جاء علي فأدخله معه ثم قال إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا رواه مسلم في الصحيح عن أبي بكر بن أبي شيبة وغيره عن محمد بن بشر

الدر المنثور – (6 / 605)

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يمر بباب فاطمة رضي الله عنها اذا خرج إلى صلاة الفجر ويقول الصلاة يا أهل البيت الصلاة { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا }    وأخرج مسلم عن زيد بن أرقم رضي الله عنه    أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أذكركم الله في أهل بيتي فقيل : لزيد رضي الله عنه : ومن أهل بيته أليس نساؤه من أهل بيته قال : نساؤه من أهل بيته ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده آل علي وآل عقيل وآل جعفر

(3)تهذيب اللغة – (ج 5 / ص 200)

وقالت طائفة: الآل والأهل، واحد.واحتجوا بأن ” الآل ” إذا صُغِّر قالوا: أُهَيل، فكان الهمزة هاء، كقولهم: هنرت الثوب وأَنرته، إذا جعلت له علماً.وروى الفراء عن الكسائي في تصغير ” آل ” : أُوَيْل.قال أبو العباس: فقد زالت تلك العلة وصار الآل والأهل أصلين لمعنيين، فيدخل في الصلاة كل من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، قرابة كان أو غير قرابة.

(4) المعجم الكبير – (3 / 43)

0 حدثنا محمد بن عُثْمَانَ بن أبي شَيْبَةَ ثنا عُبَادَةُ بن زِيَادٍ الأَسَدِيُّ ثنا يحيى بن الْعَلاءِ الرَّازِيُّ عن جَعْفَرِ بن مُحَمَّدٍ عن أبيه عن جَابِرٍ رضي اللَّهُ عنه قال قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم  إِنَّ اللَّهَ عز وجل جَعَلَ ذُرِّيَّةَ كل نَبِيٍّ في صُلْبِهِ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ ذُرِّيَّتِي في صُلْبِ عَلِيِّ بن أبي طَالِبٍ رضي اللَّهُ عنه

(5)المعجم الكبير للطبراني – (ج 3 / ص 73(

2565- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن زَكَرِيَّا الْغَلابِيُّ ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بن مِهْرَانَ ، حَدَّثَنَا شَرِيكُ بن عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ شَبِيبِ بن غَرْقَدَةَ ، عَنِ الْمُسْتَظِلِّ بن حُصَيْنٍ ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : ” كُلُّ بني أُنْثَى فَإِنَّ عَصَبَتَهُمْ لأَبِيهِمْ ، مَا خَلا وَلَدَ فَاطِمَةَ فَإِنِّي أَنَا عَصَبَتَهُمْ ، وَأَنَا أَبُوهُمْ “.

المقاصد الحسنة السخاوي- (ج 1 / ص 172)

حديث: كل بني آدم ينتمون إلى عصبة أبيهم إلا ولد فاطمة فإني أنا أبوهم وأنا عصبتهم، الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعاً، وكذا أخرجه أبو يعلى ومن طريقه الديلمي في مسنده عن عثمان بن أبي شيبة بلفظ: لكل بني آدم عصبة ينتمون إليه إلا ولدي فاطمة فأنا وليهما وعصبتهما، ولم ينفرد به ابن أبي شيبة بل رواه الخطيب في تاريخه من طريق محمد ابن أحمد بن يزيد بن أبي العوام حدثنا أبي حدثنا جرير بلفظ: كل بني آدم ينتمون إلى عصبتهم إلا ولد فاطمة فإني أنا أبوهم وأنا عصبتهم، ومن طريق حسين الأشقر عن جرير بنحوه ولكن شيبة ضعيف، ورواية فاطمة عن جدتها مرسلة، ولكن له شاهد عند الطبراني في ترجمة الحسن من الكبير أيضاً من طريق يحيى بن العلاء الرازي عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر مرفوعاً: إن الله جعفر ذرية كل نبي في صله وإن الله جعل ذريتي في صلب علي، ويروى أيضاً عن ابن باس كما كتبته في ارتقاء الغرف وبعضها يقوي بعضاً وقول ابن الجوزي في العلل المتناهية: إنه لا يصح ليس بجيد، وفيه دليل لاختصاصه صلى الله عليه وسلم بذلك كما أوضحته في بعض الأجوبة بل وفي مصنفي في أهل البيت.

الفوائد المجموعة للشوكاني بتحقيق المعلمي الشوكاني – (ج 1 / ص 189)

_ حديث : كل بني آدم ينتمون إلى عصبة أبيهم ، إلا ولد فاطمة فإنني أنا أبوهم ، وأنا عصبتهم . قال في المقاصد : فيه إرسال وضعف ، ولكن له شاهد عن جابر ، رفعه : إن الله جعل ذرية كل نبي من صلبه ، وإن الله جعل ذريتي في صلب علي ، وبعضها يقوي بعضا .وقال ابن الجوزي : إنه لا يصح .

التيسير بشرح الجامع الصغير – (2 / 212)

وقال ك + صحيح + فقال الذهبي + بل فيه لين + ( كل بني أم ينتمون إلى عصبة إلا ولد فاطمة فأنا وليهم وأنا عصبتهم ) ومن خصائصه أن أولاد بناته ينسبون إليه بخلاف غيره وأولاد بنات بناته لا يشاركون أولاد الحسنين في الانتساب إليه وإن كانوا من ذريته ( طب عن فاطمة الزهراء ) + بإسناد ضعيف + ووهم المؤلف ( كل بني أنثى فإن عصبتهم لأبيهم ما خلا ولد فاطمة فإني أنا عصبتهم وأنا أبوهم ) انظر كيف خص التعصيب بأولادها دون أختيها ولذلك ذهب جمع إلى أن ابن الشريفة غير شريف إذا لم يكن أبوه شريفاً

(6) لسان العرب – (ج 4 / ص 536)

والعامة تَظُنُّ أَنها ولدُ الرجل خاصة وأَن عترة رسولُ الله صلى الله عليه وسلم ولدُ فاطمة رضي الله عنها هذا قول ابن سيده وقال الأَزهري رحمه الله وفي حديث زيد بن ثابت قال قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم إِني تارك فيكم الثَّقَلَينِ خَلْفي كتابَ الله وعتْرتي فإِنهما لن يتفرّقا حتى يَرِدا عليّ الحوض وقال قال محمد بن إِسحق وهذا حديث صحيح ورفعَه نحوَه زيدُ بن أَرقم وأَبو سعيد الخدري وفي بعضها إِنِّي تاركٌ فيكم الثَّقَلْين كتابَ الله وعِتْرَتي أَهلَ بيتي فجعل العترة أَهلَ البيت وقال أَبو عبيد وغيره عِتْرةُ الرجل وأُسْرَتُه وفَصِيلتُه رهطه الأَدْنَون ابن الأَثير عِتْرةُ الرجل أَخَصُّ أَقارِبه وقال ابن الأَعرابي العِتْرة ولدُ الرجل وذريته وعِقُبُه من صُلْبه قال فعِتْرةُ النبي صلى الله عليه وسلم وولدُ فاطمة البَتُول عليها السلام وروي عن أَبي سعيد قال العِتْرةُ ساقُ الشجرة قال وعِتْرةُ النبي صلى الله عليه وسلم عبدُ المطلب ولده وقيل عِتْرتُه أَهل بيته الأَقربون وهم أَولاده وعليٌّ وأَولاده وقيل عِتْرتُه الأَقربون والأَبعدون منهم

تحفة الأحوذي – (ج 9 / ص 203)

” إِنِّي تَرَكْت فِيكُمْ مَنْ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ ” أَيْ اِقْتَدَيْتُمْ بِهِ وَاتَّبَعْتُمُوهُ . وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ : ” تَرَكْت فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ” أَيْ إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ عِلْمًا وَعَمَلًا

” كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي” قَالَ التُّورْبَشْتِيُّ عِتْرَةُ الرَّجُلِ أَهْلُ بَيْتِهِ وَرَهْطُهُ الْأَدْنَوْنَ وَلِاسْتِعْمَالِهِمْ الْعِتْرَةَ عَلَى أَنْحَاءَ كَثِيرَةٍ بَيَّنَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ ” أَهْلَ بَيْتِي ” لِيُعْلَمَ أَنَّهُ أَرَادَ بِذَلِكَ نَسْلَهُ وَعِصَابَتَهُ الْأَدْنَيْنَ وَأَزْوَاجَهُ اِنْتَهَى . قَالَ الْقَارِي وَالْمُرَادُ بِالْأَخْذِ بِهِمْ التَّمَسُّكُ بِمَحَبَّتِهِمْ وَمُحَافَظَةُ حُرْمَتِهِمْ وَالْعَمَلُ بِرِوَايَتِهِمْ وَالِاعْتِمَادُ عَلَى مَقَالَتِهِمْ وَهُوَ لَا يُنَافِي أَخْذَ السُّنَّةِ مِنْ غَيْرِهِمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ بِأَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ ” وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ } وَقَالَ اِبْنُ الْمَلَكِ : التَّمَسُّكُ بِالْكِتَابِ الْعَمَلُ بِمَا فِيهِ وَهُوَ الِائْتِمَارُ بِأَوَامِرِ اللَّهِ وَالِانْتِهَاءُ عَنْ نَوَاهِيهِ ، وَمَعْنَى التَّمَسُّكُ بِالْعِتْرَةِ مَحَبَّتُهُمْ وَالِاهْتِدَاءُ بِهَدْيِهِمْ وَسِيرَتِهِمْ ، زَادَ السَّيِّدُ جَمَالُ الدِّينِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُخَالِفًا لِلدِّينِ .

(7)زاد المسير – (5 / 182)

قوله تعالى وكان أبوهما صالحا قال ابن عباس حفظا بصلاح أبيهما ولم يذكر منهما صلاحا وقال جعفر بن محمد عليه السلام كان بينهما وبين ذلك الأب الصالح سبعة آباء وقال مقاتل كان أبوهما ذا أمانة

فتح القدير – (3 / 304)

{ وكان أبوهما صالحا } فكان صلاحه مقتضيا لرعاية ولديه وحفظ مالهما قيل هو الذى دفنه وقيل هو الأب السابع من عند الدافن له وقيل العاشر

تفسير البغوي – (3 / 177)

( وكان أبوهما صالحا ) قيل كان اسمه كاشح وكان من الأتقياء قال ابن عباس حفظا بصلاح أبيهما وقيل كان بينهما وبين الأب الصالح سبعة آباء قال محمد بن المنكدر إن الله يحفظ بصلاح العبد ولده وولد ولده وعترته وعشيرته وأهل دويرات حوله فما يزالون في حفظ الله ما دام فيهم قال سعيد بن المسيب إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي قوله عز وجل ( فأراد ربك أن يبلغا أشدهما ) أي يبلغا ويعقلا وقيل أن يدركا شدتهما وقوتهما وقيل ثمان عشرة سنة

(8)تفسير الجلالين – (1 / 687)

{ يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى } آدم وحواء { وجعلناكم شعوبا } جمع شعب بفتح الشين هو أعلى طبقات النسب { وقبائل } هي دون الشعوب وبعدها العمائر ثم البطون ثم الأفخاذ ثم الفصائل آخرها مثاله خزيمة شعب كنانة قبيلة قريش عمارة بكسر العين قصي بطن هاشم فخذ العباس فصيلة { لتعارفوا } حذف منه إحدى التاءين ليعرف بعضكم بعضا لا لتفاخروا بعلو النسب وإنما الفخر بالتقوى { إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم } بكم { خبير } ببواطنكم

(9)صحيح مسلم – (4 / 1782)

2276 حدثنا محمد بن مِهْرَانَ الرَّازِيُّ وَمُحَمَّدُ بن عبد الرحمن بن سَهْمٍ جميعا عن الْوَلِيدِ قال بن مِهْرَانَ حدثنا الْوَلِيدُ بن مُسْلِمٍ حدثنا الْأَوْزَاعِيُّ عن أبي عَمَّارٍ شَدَّادٍ أَنَّهُ سمع وَاثِلَةَ بن الْأَسْقَعِ يقول سمعت رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقول  إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ من وَلَدِ إسماعيل وَاصْطَفَى قُرَيْشًا من كِنَانَةَ وَاصْطَفَى من قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي من بَنِي هَاشِمٍ

شرح النووي على صحيح مسلم – (15 / 36)

( باب فضل نسب النبي صلى الله عليه وسلم ( وتسليم الحجر عليه قبل النبوة)  2276 قوله صلى الله عليه وسلم ( إن الله اصطفى كنانة ) إلى آخره استدل به أصحابنا على أن غير قريش من العرب ليس بكفء لهم ولا غير بني هاشم كفؤ لهم إلا بني المطلب فانهم هم وبنو هاشم شيء واحد كما صرح به في الحديث الصحيح والله أعلم قوله صلى الله عليه وسلم

سنن الترمذي – (5 / 583)

5 حدثنا خَلَّادُ بن أَسْلَمَ حدثنا محمد بن مُصْعَبٍ حدثنا الْأَوْزَاعِيُّ عن أبي عَمَّارٍ عن وَاثِلَةَ بن الْأَسْقَعِ رضي الله عنه قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى من وَلَدِ إبراهيم إسماعيل وَاصْطَفَى من وَلَدِ إسماعيل بَنِي كِنَانَةَ وَاصْطَفَى من بَنِي كِنَانَةَ قُرَيْشًا وَاصْطَفَى من قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي من بَنِي هَاشِمٍ قال أبو عِيسَى هذا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

(10)سنن البيهقى – (ج 2 / ص 104)

- أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِاللَّهِ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَعْقُوبَ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ عِصْمَةَ قَالاَ حَدَّثَنَا السَّرِىُّ بْنُ خُزَيْمَةَ حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِىِّ بْنِ الْحُسَيْنِ ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنِى أَبُو جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَلِىِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَالَ : لَمَّا تَزَوَّجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِىٍّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَتَى مَجْلِسًا فِى مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الْقَبْرِ وَالْمِنْبَرِ لِلْمُهَاجِرِينَ لَمْ يَكُنْ يَجْلِسُ فِيهِ غَيْرُهُمْ فَدَعَوْا لَهُ بِالْبَرَكَةِ. فَقَالَ : أَمَا وَاللَّهِ مَا دَعَانِى إِلَى تَزْوِيجِهَا إِلاَّ أَنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« كُلُّ سَبَبٍ وَنَسَبٍ مُنْقَطِعٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ سَبَبِى وَنَسَبِى ». لَفْظُ حَدِيثِ ابْنِ إِسْحَاقَ وَهُوَ مُرْسَلٌ حَسَنٌ وَقَدْ رُوِىَ مِنْ أَوْجُهٍ أُخَرَ مَوْصُولاً وَمُرْسَلاً.

مسند أحمد – (ج 4 / ص 323)

(18907) 19114- حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ ، مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ جَعْفَرٍ ، حَدَّثَتْنَا أُمُّ بَكْرٍ بِنْتُ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ ، عَنِ الْمِسْوَرِ ، أَنَّهُ بَعَثَ إِلَيْهِ حَسَنُ بْنُ حَسَنٍ يَخْطُبُ ابْنَتَهُ ، فَقَالَ لَهُ : قُلْ لَهُ : فَلْيَلْقَنِي فِي الْعَتَمَةِ ، قَالَ : فَلَقِيَهُ ، فَحَمِدَ الْمِسْوَرُ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : أَمَّا بَعْدُ ، وَاللَّهِ مَا مِنْ نَسَبٍ ، وَلاَ سَبَبٍ ، وَلاَ صِهْرٍ ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ سَبَبِكُمْ وَصِهْرِكُمْ ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَاطِمَةُ مُضْغَةٌ مِنِّي ، يَقْبِضُنِي مَا قَبَضَهَا ، وَيَبْسُطُنِي مَا بَسَطَهَا ، وَإِنَّ الأَنْسَابَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَنْقَطِعُ غَيْرَ نَسَبِي ، وَسَبَبِي ، وَصِهْرِي ، وَعِنْدَكَ ابْنَتُهَا وَلَوْ زَوَّجْتُكَ لَقَبَضَهَا ذَلِكَ قَالَ : فَانْطَلَقَ عَاذِرًا لَهُ.

المستدرك – (ج 3 / ص 153)

4684 – حدثنا الحسن بن يعقوب و إبراهيم بن عصمة العدلان قالا : ثنا السري بن خزيمة ثنا معلى بن راشد ثنا وهيب بن خالد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن علي بن الحسين أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه خطب إلى علي رضي الله عنه أم كلثوم فقال : انكحنيها فقال علي إني أرصدها لابن أخي عبد الله بن جعفر فقال عمر انكحينها فو الله ما من الناس أحد يرصد من أمرها ما أرصده فأنكحه علي فأتى عمر المهاجرين فقال : ألا تهنوني فقالوا بمن يا أمير المؤمنين فقال بأم كلثوم بنت علي و ابنة فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول كل نسب و سبب ينقطع يوم القيامة إلا ما كان من سببي و نسبي فأحببت أن يكون بيني و بين رسول الله صلى الله عليه و سلم نسب و سبب  هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه تعليق الذهبي قي التلخيص : منقطع