لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ
Rabu, 01 Desember 2010
Rahasia huruf "Lam" dan "'Ala" dalam Doa Pernikahan
Rahasia huruf "Lam" dan "'Ala" dalam Doa Pernikahan
Pembaca mulia, sebagai seorang muslim, kita tentu sering mendengar –bahkan sejak kita kecil- bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang paling jelas dan paling indah sehingga dipilih sebagai bahasa Al-Qur’an, bahasa umat Islam.
Namun, barangkali kebanyakan di antara kita sering timbul pertanyaan, “Di mana letak keindahan bahasa Arab?” atau “saya membaca terjemahan Al-Qur’an kok biasa-biasa saja, tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia lagi atau jika disesuaikan, malah kaku jadinya” atau pertanyaan-pertanyaan semisal.
Pembaca mulia, apakah kita pernah mempelajari bahasa Arab? Jika jawabannya “Belum”, sangat wajar apabila pertanyaan-pertanyaan di atas dapat muncul. Sesungguhnya siapa pun yang tidak menguasai bahasa Arab, tidak akan bisa mengetahui, di mana letak keindahannya.
Nah, untuk mengungkap seluruh keindahan bahasa Arab, tentunya tidak akan cukup dalam satu artikel. Dalam kesempatan ini, penulis akan coba ketengahkan salah satu rahasia bahasa Arab dalam hal preposisi (kata depan) semata. Ya, sebatas preposisi pun mempunyai makna yang dalam.
Alasan ditulisnya artikel ini adalah ketika beberapa waktu yang lalu, penulis mendapat undangan pernikahan dari salah seorang ikhwan. Dalam undangan tersebut, tertera doa walimah
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
/baarakallahu lak, wa baaraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fii khair/ (Lihat kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadral ‘ala shahihain/, karya محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري /Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I Beirut, tahun 1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, juz II, hal. 199, hadits nomor: 2745. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.)
Doa di atas, sering diterjemahkan: “Semoga Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Sekilas, terjemahan di atas sudah tampak benar. Akan tetapi, terjemahan tersebut belumlah mewakili makna yang terkandung dalam doa walimah tersebut.
Setelah melihat undangan tersebut, penulis menjadi teringat penjelasan Al-Ustadz Al-Fadhil Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif tentang perbedaan preposisi اللام dan على dalam doa walimah secara khusus, dan dalam penggunaan bahasa Arab secara umum. Hal ini beliau sampaikan ketika beliau memberi materi dalam daurah bahasa Arab kelas takhossus Angkatan XI pertengahan tahun 2006 di Ma’had Al-Furqon Gresik. Beliau juga memberikan faidah tambahan setelah menjelaskan makna doa walimah tersebut, yang insya Allah akan penulis tuangkan dalam artikel ini.
Rahasia Preposisi اللام dan على
Pembaca mulia, bila dilihat secara leksikal, memang tidak salah apabila kita menemui kalimat:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
Lalu kita terjemahkan,
“Semoga Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”
Pertanyaannya adalah, “Apakah pembaca dapat membedakan makna padamu dan atasmu dalam terjemah doa walimah di atas? Tentu tidak bisa bukan?
Penjelasan
Pembaca mulia, preposisi اللام /laam/ secara harfiyyah artinya memang bisa diterjemahkan ‘pada’. Adapun على /’alaa/ dapat diterjemahkan ‘di atas’. Akan tetapi, jika kedua preposisi tersebut terdapat dalam satu kalimat secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyyah’ pada’ atau ‘di atas’ lagi. Namun, makna اللام menunjukkan makna yang baik, sedangkan menunjukkan makna yang buruk. Oleh karena itu, jika memerhatikan hal ini, doa walimah di atas jika diterjemahkan akan menjadi panjang, yaitu:
“Semoga Allah memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis, dan semoga Allah (tetap) memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu terjadi kerenggangan (terjadi prahara), dan semoga Dia (Allah) mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Nah, bagaimana arti di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis bisa muncul? Jawabnya adalah karena adanya preposisi اللام yang makna menunjukkan hal-hal yang baik jika disandingkan dengan preposisi على dalam satu kalimat. Konteks kalimat di atas adalah pernikahan, sehingga diketahui secara pasti bahwa hal-hal yang baik dalam pernikahan adalah ketika pasangan hidup dalam keadaan harmonis.
Demikian pula sebaliknya, arti di saat rumah tanggamu terjadi kerenggangan (terjadi prahara) dapat muncul sebagai terjemahan dari preposisi على . Preposisi ini akan menunjukkan makna yang buruk jika disandingkan dengan preposisi اللام dalam satu kalimat. Konteks kalimat di atas adalah penikahan, sehingga diketahui secara pasti bahwa hal-hal yang buruk dalam penikahan adalah ketika pasangan hidup mengalami kerenggangan atau prahara dalam rumah tangganya.
Hal ini membawa pelajaran penting bagi setiap orang yang akan menikah bahwa Nabi sudah mengisyaratkan dalam rumah tangga yang akan dihadapi tidaklah selamanya dalam keadaan yang bahagia dan harmonis. Setelah menikah nanti, seorang istri akan melihat sisi lain dari sang suami, yang tidak ia ketahui sebelum menikah. Demikian pula sebaliknya, sang suami akan melihat banyak hal yang tidak diketahuinya dari si istri setelah ia bergaul dengan istri beberapa hari pasca pernikahan. Pertengkaran sangat mungkin terjadi antara suami dengan istri, yang bisa muncul karena adanya kecemburuan, kesalahan dari salah satu pihak, bahkan karena adanya hal-hal sepele sekalipun. Dalam kondisi prahara ini, Nabi mengisyaratkan bahwa Allah bisa akan tetap memberi berkah pada suami istri tersebut. Bagaimana sikap suami ketika menghadapi kesalahan istri, demikian pula bagaimana istri ketika menghadapi kesalahan suami adalah hal-hal yang telah diajarkan dalam syariat Islam.
Anggapan bahwa rumah tangga selamanya 100% akan harmonis, tanpa ada perselisihan dan pertengkaran adalah anggapan yang keliru. Bagi yang sudah menikah, tentu mengetahui hal ini. Nabi kita yang mulia, memberi sifat bagi wanita bahwa mereka adalah kaca-kaca, sebagaimana dalam sabdanya,
ارفق بقوارير
‘Lembutlah kamu kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)’
Dalam kitab Fathul Bari, dijelaskan bahwa wanita disamakan dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho, dan karena tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran), sebagaimana kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan. (Periksa dalam Fathul Bari X/545)
Oleh karena itu, ulama jenius, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, memberikan nasihat kepada kita tentang wanita,
“…Sebuah kata yang Engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang Engkau ucapkan, bisa menjadikannya dekat di sisimu.” (Periksa dalam kitab Syarhul Mumti’, XII/385.)
Bahkan, Nabi sendiri juga menjelaskan bahwa sangat memungkinkan suami akan mendapati hal-hal yang tidak ia kehendaki pada istrinya, tetapi hal tersebut Nabi larang dijadikan alasan untuk membenci istrinya tersebut, sebagaimana dalam sabda beliau
لاَ يَفْرُكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain)” (Lihat kitab صحيح مسلم /shahihil muslim/, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري /Muslim bin Al-Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, cet. Beirut: Daar Ihya’ At-Turats Al-’Arabi, juz. II, hal. 1091, hadits nomor: 1469. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليق محمد فؤاد عبد الباقي /Ta’liq Muhammad Fuad Abdul Baqi/.)
Maka, benarlah apa yang pernah disampaikan Al-Ustadz Firanda bahwa, “Suami yang paling sedikit mendapat taufik dari Allah dan yang paling jauh dari kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh kebaikan-kebaikan istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan istrinya dan menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan matanya. Bahkan terkadang kesalahan istrinya yang sepele dibesar-besarkan, apalagi dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk yang akhirnya menjadikannya berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki kebaikan.”
Ustadz Firanda juga menyampaikan bahwa di antara yang dilakukan syaitan kepada suami tatkala marah kepada istrinya ialah dengan berkata, ” Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak wanita yang shalihah, cantik lagi.., ayolah jangan ragu-ragu…” Syaithan juga berkata, “Cobalah renungkan jika Engkau hidup dengan wanita seperti ini.., bisa jadi di kemudian hari ia akan membangkang kepadamu… Atau syaithan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah kepadamu kecuali karena ia tidak menghormatimu.. atau kurang sayang kepadamu, karena jika ia sayang kepadamu ia tidak akan berbuat demikian.”
—Selesai penjelasan Ustadz Firanda—
Demikianlah, syaithan berusaha memisahkan hubungan antara suami dengan istri. Kesempatan yang tidak disia-siakan syaithan adalah ketika suami melihat satu kesalahan istrinya, maka syaithan akan membisiki sang suami untuk menjauhinya sampai menceraikannya. Namun, ingatlah kembali lafadz بارك عليك ‘Semoga Allah memberi berkah kepadamu ketika kamu ditimpa prahara’ ketika manusia mengucapkannya di saat Anda menikah dulu.
Lalu, bagaimana agar Allah tetap memberi berkah ketika rumah tangga ditimpa prahara dan pertengkaran? Ketika penulis berupaya menyusun risalah untuk menjawab pertanyaan ini, penulis sudah membayangkan berpuluh-puluh halaman untuk menyelesaikannya. Maka, hal tersebut akan penulis sajikan dalam artikel tersendiri. Namun, satu kunci pembuka untuk menjawab pertanyaan di atas adalah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَأَنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقَامَتَهَا تَكْسِرْهَا فَدارهَا تَعِش بِهَا
Ketahuilah bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika Engkau ingin meluruskannya, maka Engkau akan mematahkannya. Oleh karenanya, berbasa-basilah! Niscaya Engkau bisa menjalani hidup dengannya.” (Lihat Kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadrak ‘ala shahihain/, karya محمد بن عبد الله أبو عبد الله الحاكم النيسابوري /Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I Beirut, tahun 1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, juz 4, hal. 192, hadits nomor: 7334. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.)
Maka, benarlah perkataan Adh-Dhohak, “Jika terjadi pertengkaran antara seorang dengan istrinya, janganlah ia bersegera untuk mencerainya. Hendaknya ia bersabar terhadapnya , mungkin Allah akan menampakkan dari istrinya apa yang disukainya.” (Periksa kitab Ad-Dur Al-Mantsur, II/465).
Sumber: http://alashree.wordpress.com
Kategori: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar