Assalamu'alaikum Wr. Wb,
Saya
seorang kepala keluarga umur 38 tahun, saya ingin melakukan program KB
Mantap/Vasektomi hal ini ingin saya lakukan karena ada beberapa hal:
1. Anak kami sudah 3 orang,
2. Kondisi rahim istri saya sudah tidak mungkin untuk hamil lagi karena terlalu beresiko;
3.
Selama ini istri saya mengikuti KB IUD/Spiral, Suntik namun semuanya
menimbulkan masalah yang mengakibatkan istri saya tekanan darah tinggi
terus dan kesehatannya sering terganggu;
4. Tadinya istri saya ingin ikut tubektomi namun takut untuk dilakukan operasi biarpun operasi kecil,
Oleh
sebab itu saya mengambil jalan tengah saya yang ingin ikut program KB
Vasektomi tsb, yang ingin saya tanyakan bagaimana hukumnya vasektomi
dipandang dari ajaran Islam, karena ada beberapa yang menyatakan haram
namun ada pula yang tidak, mohon jawabannya.
Terima kasih,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
hormat saya,
Teguh R
Jawaban:
Al-hadulillah, As-sholatu Was-salamu ‘Ala Rasulillah, Wala Haula Wala Quwwata Illa Billah.
Bapak
Teguh R yang budiman. Sepertinya Allah Ta’ala telah memberikan banyak
kenikmatan kepada Bapak, khususnya dengan memberikan kemudahan dalam
memperoleh keturunan. Dalam usia 38 Bapak telah dikaruniai 3 anak.
Tidak semua orang seberuntung Bapak, karena ada beberapa pasangan
suami-istri yang sulit untuk mendapatkan keturunan, bahkan setelah
sekian tahun masa pernikahan masih juga belum dikaruniai keturunan.
Oleh karenanya, kenikmatan tersebut patut untuk disyukuri.
Dalam
ajaran agama Islam, ikatan pernikahan bukan saja merupakan bentuk
ibadah kepada Allah Ta’ala, tapi juga merupakan sarana untuk memperoleh
keturunan. Karenanya, Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk
menikah dan kemudian mempunyai banyak keturunan:
“Rasulullah
SAW memerintahkan kita untuk menikah, dan melarang keras untuk hidup
melajang. Beliau bersabda: “Nikahlah kalian dengan perempuan yang
memberikan banyak anak dan banyak kasih sayangnya. Karena aku akan
membanggakan banyaknya jumlah umatku kepada para Nabi lainnya di hari
kiamat nanti” HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
Hadis
tersebut memberikan motivasi kepada setiap orang muslim untuk bersegera
menikah dan kemudian mempunyai banyak keturunan. Ada beberapa orang
yang khawatir, jika memiliki banyak keturunan akan membawa kesulitan
dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, dengan alasan karena, misalnya,
pendapatannya terhitung pas-pasan. Kekhawatiran seperti ini sebetulnya
wajar, tapi sesungguhnya setiap anak yang dilahirkan pasti telah
ditentukan rizkinya oleh Allah Ta’ala. Kita harus ingat firmanNya:
“…Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, …”
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah
yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
Namun
demikian perlu juga diingat bahwa ajaran agama Islam juga mewajibkan
kepada kepala keluarga untuk memberikan nafaqoh (nafkah) kepada
keluarganya, baik nafaqoh dhohiriyah (nafkah fisik), misalnya mencukupi
sandang, pangan, papan, dan kesehatannya, ataupun nafaqoh ruhiyah
(nafkah batin), misalnya pendidikan, pengetahuan agama, dsb. Sehingga
ajaran agama Islam bukan hanya memotivasi umatnya agar mempunyai banyak
keturunan, tetapi juga menekankan agar keturunan tersebut dapat hidup
secara berkualitas, baik dhahirnya maupun batinnya.
Dengan
dasar pemikiran seperti itu para ulama membolehkan KB (keluarga
berencana), dengan pertimbangan bahwa KB dapat menjadi sarana
(washilah) untuk mengupayakan adanya keturunan yang lebih berkualitas.
Para ulama berijtihad bahwa KB merupakan bentuk dari tanzhim an-nasl
(merencanakan keturunan) dan bukan merupakan tahdid an-nasl (memutus
keturunan, pemandulan). Di mana tanzhim an-nasl hukumnya mubah (boleh dilakukan) dan tahdid an-nasl hukumnya haram.
Namun
yang menjadi persoalan adalah tata cara KB saat ini banyak mengalami
perkembangan. Saat ini ada banyak macam tata cara KB, misalnya dengan
menggunakan suntik, minum pil, menggunakan kondom, melakukan ‘azl
(ketika akan ejakulasi mencabut kemaluan dan mengeluarkan sperma di
luar), menggunakan spiral, dan ada juga yang melakukan vasektomi atau
tubektomi. Karenanya, KB yang saat ini berkembang tidak serta merta
dapat digolongkan sebagai tanzhim an-nasl yang dibolehkan, tapi juga
ada yang bisa digolongkan sebagai tahdid an-nasl yang diharamkan,
tergantung tata cara KB yang dipergunakan.
Oleh
karenanya, saat ini para ulama dalam menghukumi KB akan melihat
terlebih dahulu (tafshil), jika KB yang dipakai masuk dalam kategori
tanzhim an-nasl (merencanakan keturunan, tidak pemandulan secara tetap
sehingga memungkinkan untuk memperoleh keturunan lagi) maka hukumnya
boleh (mubah). Sedangkan jika KB yang dipakai masuk dalam kategori
tahdid an-nasl (memutus keturunan, di mana menyebabkan pemandulan
tetap) maka hukumnya haram. Nah, vasektomi yang Bapak tanyakan termasuk
dalam kategori tahdid an-nasl karena merupakan upaya pemandulan tetap
dengan memotong saluran sperma. Oleh karenanya hukumnya haram,
sebagaimana fatwa MUI pada tahun 1979 dan dikukuhkan kembali pada
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia ke III tahun 2009.
Memang
saat ini ada yang membolehkan vasektomi dengan alasan ditemukannya
teknologi yang memungkinkan disambung kembali saluran sperma yang telah
dipotong (rekanalisasi). Sehingga menurut pendapat ini alasan hukum
(’illah) keharaman vasektomi, yakni pemandulan tetap, dapat
dihilangkan, sehingga hukum vasektomi menjadi boleh (mubah), sesuai
dengan kaidah:
“Hukum sesuatu tergantung pada ada-tidaknya alasan hukumnya”
“hilangnya hukum sesuatu disebabkan oleh hilangnya alasan hukum (‘illah)nya”
Namun
MUI tidak setuju dengan pendapat ini. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se
Indonesia tahun 2009 yang diikuti oleh sekitar 750 ulama dari seluruh
Indonesia tetap mengharamkan vasektomi, dengan alasan bahwa upaya
rekanalisasi (penyambungan kembali) saluran sperma yang telah dipotong
tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan,
sehingga vasektomi tergolong kategori tahdid an-nasl yang diharamkan.
Keterangan bahwa upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) saluran
sperma yang telah dipotong tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan
tersebut sebagaimana penjelasan dari Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek
dari bagian Obsteri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UI dan Furqan Ia
Faried dari BKKBN.
Namun
begitu tidak berarti sudah tidak ada jalan keluar bagi permasalahan
yang Bapak hadapi. Sepanjang yang saya tangkap dari penjelasan Bapak
bahwa istri Bapak sudah tidak diizinkan untuk melahirkan lagi, karena
secara medis bisa membahayakan dirinya. Justru di sinilah jalan
keluarnya, istri Bapak bisa melakukan tubektomi. Walaupun hukum
melakukan tubektomi adalah haram, karena merupakan pemandulan secara
tetap, tetapi melihat kondisi istri Bapak yang apabila hamil dan
melahirkan akan membahayakan dirinya, maka dalam kondisi tersebut hukum
tubektomi menjadi boleh (mubah) baginya, dengan alasan dharurah
(darurat, terpaksa), sesuai kaidah:
“keadaan terpaksa (dharurah) dapat membolehkan sesuatu yang awalnya dilarang”
Persoalannya tinggal bagaimana Bapak meyakinkan istrinya bahwa proses tubektomi tidaklah semenakutkan seperti yang dibayangkan.
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam
Salam hangat,
Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc
31 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar