محمد نور توفيق

محمد نور توفيق
إِنَّ الْحَمْدَ لِلّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُYAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII 'ALAA DIINIKA "WAHAI YANG MEMBOLAK-BALIKKAN HATI, TEGUHKAN HATIKU PADA AGAMA-MU" Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, kita meminta pertolongan kepada-Nya, kita meminta ampunan kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kita dan dari keburukan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh pengikut mereka yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. http://shohibulummah.blogspot.com/ facebook : muhammadnurtaufiq@rocketmail.

Sabtu, 27 November 2010

Khutbah Idul Fitri 1428 H

Khutbah Idul Fitri 1428 H 07/10/2007 KHUTBAH PERTAMA اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَاَبْدَرَ اللهُ اَكْبَرْ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَاَفْطَرْ اللهُ اَكْبَرْكُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَاَمْطَرْ وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ وَاَزْهَرْوَكُلَّمَا اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَرْ. اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ. اللهُ اَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ. اللهُ اَكْبَرْ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ Jama'ah sholat Idul Fitri rahimakumullah Sejak tadi malam telah berkumandang alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Sebagaimana firman Allah SWT: وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Rasulullah SAW bersabda: زَيِّنُوْا اَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيْر “Hiasilah hari rayamu dengan takbir.” Takbir kita tanamkan ke dalam lubuk hati sebagai pengakuan atas kebesaran dan keagungan Allah SWT sedangkan selain Allah semuanya kecil semata. Kalimat tasbih dan tahmid, kita tujukan untuk mensucikan Tuhan dan segenap yang berhubungan dengan-Nya. Tidak lupa puji syukur juga kita tujukan untuk Rahman dan Rahim-Nya yang tidak pernah pilih kasih kepada seluruh hambanya. Sementara tahlil kita lantunkan untuk memperkokoh keimanan kita bahwa Dia lah Dzat yang maha Esa dan maha kuasa. Seluruh alam semesta ini tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. اللهُ اَكْبَرْ (3×) وَ للهِ اْلحَمْدُ Jamaah Idul Fitri rahimakumullah Setelah satu bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa dan atas karunia-Nya pada hari ini kita dapat berhari raya bersama, maka sudah sepantasnya pada hari yang bahagia ini kita bergembira, merayakan sebuah momentum kemenangan dan kebahagiaan berkat limpahan rahmat dan maghfiroh-Nya sebagaimana yang tersurat dalam sebuah hadis Qudsi: اِذَا صَامُوْا شَهْرَ رَمَضَانَ وَخَرَجُوْا اِلىَ عِيْدِكُمْ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالىَ: يَا مَلاَئِكَتِى كُلُّ عَامِلٍ يَطْلُبُ اُجْرَهُ اَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيُنَادِى مُنَادٌ: يَا اُمَّةَ مُحَمَّدٍ اِرْجِعُوْااِلَى مَنَازِلِكُمْ قَدْ بَدَلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِى صُمْتُمْ لِى وَاَفْطَرْتُمْ لِى فَقُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ Artinya: “Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu sekalian maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku, setiap orang yang mengerjakan amal kebajian dan meminta balasannya sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka'. Sesorang kemudian berseru: 'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berkata: 'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untukku dan berbuka untukku. Maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan.” اللهُ اَكْبَرْ (3×) وَ للهِ اْلحَمْدُ Jama`ah Idul Fithri yang berbahagia Seiring dengan berlalunya Bulan suci Ramadhan. Banyak pelajaran hukum dan hikmah, faidah dan fadhilah yang dapat kita petik untuk menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan yang akan datang. Jika bisa diibaratkan, Ramadhan adalah sebuah madrasah. Sebab 12 jam x 30 hari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, semula sesuatu yang halal menjadi haram. Makan dan minum yang semula halal bagi manusia di sepanjang hari, maka di bulan Ramadhan menjadi haram. Sementara dari aspek sosial, semua orang pernah merasa kenyang tapi tidak semuanya pernah merasakan lapar. Oleh karena itu, ada tiga pesan dan kesan Ramadhan yang sudah semestinya kita pegang teguh bersama. Pesan pertama Ramadhan adalah Pesan moral atau Tahdzibun Nafsi Artinya, kita harus selalu mawas diri pada musuh terbesar umat manusia, yakni hawa nafsu sebagai musuh yang tidak pernah berdamai. Rasulullah SAW bersabda: Jihad yang paling besar adalah jihad melawan diri sendiri. Di dalam kitab Madzahib fît Tarbiyah diterangkan bahwa di dalam diri setiap manusia terdapat nafsu/naluri sejak ia dilahirkan. Yakni naluri marah, naluri pengetahuan dan naluri syahwat. Dari ketiga n

Khutbah Idul Adha: Kisah Keteladanan Keluarga Nabi Ibrahim AS

Khutbah Idul Adha: Kisah Keteladanan Keluarga Nabi Ibrahim AS 25/11/2009 KHUTBAH PERTAMA: اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (×3)اللهُ اَكبَرْ (×3 اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ. اللهُ اَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Di pagi hari yang penuh berkah ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Baru saja kita ruku’ dan sujud sebagai pernyataan taat kepada Allah SWT. Kita agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas keagungan Allah. Takbir yang kita ucapkan bukanlah sekedar gerak bibir tanpa arti. Tetapi merupakan pengakuan dalam hati, menyentuh dan menggetarkan relung-relung jiwa manusia yang beriman. Allah Maha Besar. Allah Maha Agung. Tiada yang patut di sembah kecuali Allah. Karena itu, melalui mimbar ini saya mengajak kepada diri saya sendiri dan juga kepada hadirin sekalian: Marilah tundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang Maha Besar. Campakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkaan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun kebesaran yang kita sandang, kita kecil di hadapan Allah. Betapa pun perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tifdak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya. Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Idul adha yang kita rayakan pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara mereka, semuanya merasa sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah. لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, jiga dinamakan “Idul Qurban”, karena merupakan hari raya yang menekankan pada arti berkorban. Arti Qurban ialah memberikan sesuatu untuk menunjukkan kecintaan kepada orang lain, meskipun harus menderita . Orang lain itu bias anak, orang tua, keluarga, saudara berbangsa dan setanah air. Ada pula pengorbanan yang ditujukan kepada agama yang berarti untuk Allah SWT dan inilah pengorbanan yang tinggi nilainya. Masalah pengorbanan, dalam lembaran sejarah kita diingatkan pada beberapa peristiwa yang menimpa Nabiyullah Ibrahim AS beserta keluarganya Ismail dan Siti Hajar. Ketika orang ini telah membuat sejarah besar, yang tidak ada bandingannya: Yaitu ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT untuk menempatkan istrinya Hajar bersama Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu. Mereka ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, maupin istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal. Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an: رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ Artinya: Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu (Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah gati sebagia manusia cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37) Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa tatkala Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau mencari air kian kemari sambil lari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat jibril membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber kehidupan. Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah. Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti hajar dan nabi ismail, untuk membeli air. Datang rejeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan kota mekkah, sebuah kota yang aman dan makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakat. Kota mekkah yang aman dan makmur dilukiskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an: وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS Al-Baqarah: 126) Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Dari ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat ini memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, memperoleh fasilitas yang cukup, selama melakukan ibadah haji maupun umrah. Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan dan ekonomi, serta kaemanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran rakyat yang mengagumkan. Yang semua itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi Ibrahim dikabulkan Allah SWT. Semua kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh orang islam saja. Orang-orang yang tidak beragama Islam pun ikut menikmati. Allah SWT berfirman: قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126) Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Idul Adha yang kita peringatisaat ini, dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari rara memotong kurban binatang ternak. Sejarahnya adalah bermula dari ujian paling beratyang menimpa Nabiyullah Ibrahim. Akibat dari kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih Allah). Setelah titel Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal bhaktinya!” Sebagai realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah. Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.” Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an: قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102) Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah. Iblis datang menggoda sang ayah, sang anak, dan sang ibu silih berganti. Akan tetapi Nabi Ibrahim, Siti hajar dan Nabi Ismail tidak tergoyah noleh bujuk rayuan iblis yang menggoda agar membatalkan niatnya. Mereka tidak terpengaruh sedikitpun untuk mengurunkan niatnya melaksanakan perintah Allah. Ibrahim melempar iblis dengan batu, mengusirnya pergi. Dan ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah. Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau dileher putranya. Ismail mengira ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya. Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannyatidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110: وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ “Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ “Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.” سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ “Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.” كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ “Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’ Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Inilah sejarah pertamanya korban di Hari Raya Qurban. Yang kita peringati pada pagi hari ini. Allah Maha Penyayng. Korban yang diperintahkan tidak usah anak kita, cukup binatang ternak, baik kambing, sapi, kerbau maupun lainnya. Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar. Dari sejarahnya itu, maka lahirlah kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan tahunan yang silam, sekalipun tiap harinya dikuras berjuta liter, sebagai tonggak jasa seorang wanita yang paling sabar dan tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail. Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia adalah sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah haji, pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban. Di samping itu, kesan atau i’tibar yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah: Pertama, perintah dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, harus dilaksanakan tanpa reserve. Harus disambut dengan tekad sami’na wa ‘ata’na. Nabi Ibrahim, istri, dan anaknya, telah meninggalkan contoh bahwa bila perlu, jiwa sendiripun haruslah dikorbankan, demi melaksanakan perintah-perintah Allah. Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, I’tibar kedua yang dapat kita tarikdari peristiwa tersebut, adalah kegigihan syaitan yang terus menerus mengganggu manusia, agar membangkang dari ketentuan ilahi. Syaitan senantiasa terus berusaha menyeret manusia ke jurang kejahatan dan kehancuran. Allah sendiri mengingatkan kepada kita. وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Ketiga, jenis sembelihan berupa bahimah (binatang ternak), merupakan gambaran bahwa hawa nafsu hawaiyah harus dihilangkan. Keempat, bahimah bila dilihat dari unsur gizinya, mengandung suatu arti bahwa makanan, disamping halal harus yang diutamakan juga masalah gizinya. Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah, Tepatlah apabila perayaan Idul Adha digunakan menggugah kesedihan kita untuk berkorban bagi negeri kita tercinta yang tidak pernah luput dirundung kesusahan. Dalam kondisi seperti ini sebenarnya kita banyak berharap dan mendoakan mudah-mudahan para pemimpin kita, elit-elit kita, dalam berjuang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Pengorbanan untuk kepentingan orang banyak tidaklah mudah, berjuang dalam rangka mensejahterahkan umat memang memerlukan keterlibatan semua pihak. Hanya orang-orang bertaqwalah yang sanggup melaksanakannya. Mudah-mudahan perayaan Idul Adha kali ini, mampu menggugah kita untuk rela berkorban demi kepentingan agama, bangsa dan negara amiin 3x ya robbal alamin. أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ KHUTBAH KEDUA: اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَِثيْرًا اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Jumat, 26 November 2010

Mengusap Wajah Setelah Shalat

Mengusap Wajah Setelah Shalat 23/06/2009 Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah SAW berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275) Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka. Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari Sahabat Anas bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa: أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ “Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan." (I’anatut Thalibin, juz I, hal 184-185) Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat. KH Muhyiddin Abdusshomad Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Rais Syuriyah PCNU Jember

Hukum Menggerak-gerakkan Jari dalam Shalat

Hukum Menggerak-gerakkan Jari dalam Shalat 16/02/2010 Berikut ini diketengahkan ulasan lain tentang menggerakkan telunjuk pada saat tahiyat, seperti yang pernah dibahas sebelumnya. (redaksi) Jika kita perhatikan, saat duduk tasyahhud dalam shalat memang tidak semua orang menggerakkan jari telunjuk dengan cara yang sama. Ini semata-mata karena perbedaan ulama dalam memahami hadits. Perbedaan ini terjadi sejak zaman tabi’in dan ulama mazhab. Perbedaan ini tidak menyebabkan tidak sahnya shalat dan tidak pula menyebabkan kesesatan, karena perbedaannya dalam hal furu’iyah yang masing-masing mempunyai dalil hadits Rasulullah SAW. Adapun hadits yang dipahami berbeda-beda oleh ulama adalah hadits Rasulullah saw.: عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم اِذَاَ قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلىَ رُكْبَتِهِ وَاليُمْنَى عَلىَ اليُمْنىَ, وَعَقَدَ ثَلاَثاً وَخَمْسِيْنَ وَأَشَارَ بِإِصْبِعِهِ السَّباَبَةِ --رواه مسلم Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW jika duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan membentuk angka “lima puluh tiga”, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan “membentuk angka lima puluh tiga” ialah suatu isyarah dari cara menggenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah disebut angka tiga, dan menjadikan ibu jari berada di atas jari tengah dan di bawah jari telunjuk. Adapun penyebab terjadinya perbedaan ulama tentang cara isyarah dengan jari telunjuk saat tasyahhud apakah digerakkan atau diam saja dan kapan waktunya adalah karena ada hadits yang sama denga di atas dengan tambahan teks (matan) dari riwayat lain, yaitu hadits yang diceritakan dari Sahabat Wail RA: ثُمَّ رَفَعَ اصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهاَ يَدْعُوْ --رواه أحمد ”..... Kemudian beliau mengangkat jarinya sehingga aku melihatnya beliau menggerak-gerakkanya sambil membaca doa.” (HR: Ahmad). Sedangkan hadits yang diriwayatk dari Ibn Zubair RA: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ يَشِيْرُ بِإِصْبِعِهِ إِذَاَ دَعَا لاَ يُحَرِّكُهَا --رواه أبو داود والنسائي “Bahwa Nabi SAW memberi isyarat (menunjuk) dengan jarinya jika dia berdoa dan tidak menggerakkannya. (HR Abu Daud dan Al Nasai) Dari Hadits tersebut Imam Mazhab fiqh sepakat bahwa meletakkan dua tangan di atas kedua lutut pada saat tasyahhud hukumnya adalah sunnah. Namun juga para imam mazhab berbeda pendapat dalam hal menggenggam jari-jari dan berisyarat dengan jari telunjuk (Alawi Abbas al Maliki, Ibanahtul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, Indonesia: al Haramain, Juz 1, h. 435-437. Dan lihat pula Al Juzayri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Beirut: Darul Fikr, 1424 H. Juz 1, h. 227-228). 1. Menurut ulama mazhab Hanafi, mengangkat jari telunjuk dilakukan pada saat membaca lafadz “Laa Ilaaha”, kemudian meletakkannya kembali pada saat membaca lafadz “illallah” untuk menunjukan bahwa mengakat jari telunjuk itu menegaskan tidak ada Tuhan dan meletakkan jari telunjuk itu menetapkan ke-Esa-an Allah. Artinya, mengangkat jari artinya tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan meletakkan jari telunjuk untuk menetapkan ke-Esa-an Allah. 2. Menurut ulama mazhab Maliki, pada saat Tasyahhud tangan kanan semua jari digenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari di bawahnya lepas. kemudian menggerak-gerakkan secara seimbang jari telunjuk ke kanan dan ke kiri 3. Menurut ulama mazhab Syafi’i, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah. Kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk sekali saja saat kalimat “illallah” (الا الله) diucapkan: 4.Menurut mazhab Hambali, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah dengan ibu jari. kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk saat kalimat “Allah” ( الله) diucapkan ketika tasyahhud dan doa 5. Pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud. Imam al-Baihaqi menyatakan: وَقَالَ البَيْهَقِيْ: يَحْتملُ أَنْ يَكُوْنَ مُرَادُهُ بِالتَحْرِيْكِ الإِشَارَةُ حَتَّى لاَيُعَارِضَ حَدِيْثَ ابْنِ الزُبَيْر Kemungkinan maksud hadits yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan saat tasyahhud adalah isyarat (menunjuk), bukan mengulang-ulang gerakkannya, agar tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair yang menyatakan tidak digerakkannya jari telunjuk tersebut. Hikmah memberi isyarah dengan satu jari telunjuk ialah untuk menunjukkan ke-Esa-an Allah dan karena jari telunjuk yang menyambung ke hati sehingga lebih mendatangkan kekhusyu’an. H M. Cholil Nafis Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Ketentuan-ketentuan dalam Qurban

Ketentuan-ketentuan dalam Qurban 09/11/2010 Istilah udlhiyyah adalah nama untuk hewan qurban yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq, dengan tujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri pada Allah). Kata udlhiyyah juga terkadang digunakan untuk makna tadlhiyyah (berqurban atau melakukan qurban) Udlhiyyah dengan menggunakan makna tadlhiyyah (melakukan ibadah qurban) hukumnya adalah sunah muakkad bagi setiap orang Islam, baligh, berakal dan mampu. Yang dimaksud mampu di sini adalah orang yang mampu melakukan ibadah qurban, dengan cara menyembelih hewan, bersamaan ia memiliki suatu kelebihan untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk dirinya dan orang yang wajib dinafkahinya, pada saat hari raya qurban dan pada hari tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Namun berqurban hukumnya dapat menjadi wajib apabila dinadzari. Misalnya jika seseorang berjanji akan berqurban jika ia berhasil mendapatkan prestasi tertentu. Adapun hewan yang mencukupi dan sah digunakan berqurban adalah: 1. Domba (dlo'nu), apabila sudah berumur satu tahun sempurna dan memasuki tahun yang kedua. 2. Kambing kacang/ jenis kecil (ma'zu), apabila sudah berumur dua tahun sempurna dan memasuki tahun yang ketiga. 3. Sapi, apabila sudah berumur dua tahun sempurna dan memasuki tahun yang ketiga. Untuk satu ekor unta dan sapi itu mencukupi untuk qurbannya tujuh orang, sedangkan kambing itu hanya mencukupi untuk qurbannya satu orang. Satu orang yang berqurban dengan satu ekor kambing itu hukumnya lebih utama dibanding orang yang berqurban dengan seekor unta atau sapi yang digunakan berqurban secara musyarakah (persekutuan) untuk tujuh orang. Ada beberapa hal yang menyebabkan hewan tidak sah digunakan berqurban, yaitu: 1. Hewan yang buta salah satu matanya 2. Hewan yang pincang salah satu kakinya, walaupun pincangnya itu terjadi ketika akan disembelih, yaitu ketika dirubuhkan dan ia bergerak dengan sangat kuat. 3. Hewan yang sakit Seperti sakit yang tampak jelas yang menyebabkan kurus dan dagingnya rusak. 4. Hewan yang sangat kurus hingga menyebabkan hilang akalnya. 5. Hewan yang terputus sebagian atau seluruh telinganya. 6. Hewan yang terputus sebagian atau seluruh ekornya. Sedangkan hewan yang pecah atau patah tanduknya itu sah digunakan berqurban, begitu pula hewan yang tidak memiliki tanduk. Hewan qurban itu diperbolehkan disembelih mulai kira-kira lewatnya waktu yang cukup untuk melakukan dua rakaat dan dua khutbah yang cepat terhitung dari terbitnya matahari pada saat hari idul adlha sampai terbenamnya matahari pada ahir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Sedangkan waktu penyembelihan yang utama adalah ketika matahari kira-kira tingginya sudah ada satu tombak dalam pandangan mata pada saat hari raya Idul Adha. Ketentuan dalam Berqurban Orang yang berqurban diharuskan melakukan niat berqurban ketika menyembelih atau menta'yin (menentukan hewannya) sebelum disembelih Orang yang mewakilkan penyembelihan hewan qurban (muwakkil), maka sudah dianggap cukup niatnya, dan sudah tidak membutuhkan pada niatnya wakil (orang yang mewakili), bahkan apabila wakil itu tidak mengetahui bahwa muwakkil adalah orang yang berqurban itu juga dianggap cukup (sah). Diperbolehkan bagi orang yang berqurban untuk menyerahkan niatnya pada orang Islam yang telah terkategori tamyiz, baik ia statusnya sebagai wakil atau bukan. 1. Bagi orang laki-laki hewan qurban sunnah disembelih sendiri, karena itba' (mengikuti pada Nabi) 2. Bagi orang perempuan sunnah untuk diwakilkan, dan sunah baginya menyaksikan penyembelihan yang dilakukan oleh wakilnya Bila qurbannya sunnah, bukan qurban yang nadzar, maka diperbolehkan baginya; 1. Sunah baginya memakan daging qurban , satu, dua atau tiga suap, karena untuk tabarruk (mencari berkah) dengan udlhiyyahnya. 2. Diperbolehkan baginya memberi makan (ith'am) pada orang kaya yang Islam 3. Wajib baginya menshadaqahkan daging qurban. Yang paling afdhal adalah menshadaqahkan seluruh daging qurban, kecuali yang ia makan untuk kesunahan. 4. Apabila orang yang berqurban mengumpulkan antara memakan, shadaqah dan menghadiahkan pada orang lain, maka disunahkan baginya agar tidak memakan di atas sepertiga, dan tidak shadaqah di bawah sepertiganya. 5. Menshadaqahkan kulit hewan qurban, atau membuatnya menjadi perabot dan dimanfaatkan untuk orang banyak, tidak diperbolehkan baginya untuk menjualnya atau menyewakannya. Melakukan Qurban untuk Orang Lain Tidak diperbolehkan bagi seseorang melakukan qurban untuk orang lain, tanpa mendapatkan izinnya, walaupun orangnya sudah mati. Hal ini akan menjadi boleh dan sah apabila mendapatkan izinnya, seperti permasalahan mayit yang telah berwasiat agar dilakukan qurban untuk dirinya, namun ada beberapa pengecualian yang tanpa memandang izinnya orang yang diqurbani, yaitu; 1. Qurban dari wali (orang yang mengurus harta seseorang) untuk orang yang tercegah tasharrufnya (hak untuk mengelola harta), seperti untuk orang gila yang ada dalam perwaliannya. 2. Qurban dari imam (pemimpin muslimm) untuk orang-orang Islam yang diambilkan dari Baitul Mal (kas Negara). Ketentuan dalam Menyembelih Hewan Qurban Proses penyembelihan hewan qurban didahului dengan: 1. Membaca basmalah 2. Membaca Shalawat pada Nabi 3. Menghadap ke arah kiblat (bagi hewan yang disembelih dan orang yang menyembelih) 4. Membaca takbir 3 kali bersama-sama 5. Berdoa agar qurbannya diterima oleh Allah, orang yang menyembelih mengucapkan; Rukun penyembelihan itu ada 4, yaitu; 1. Dzabhu (pekerjaan menyembelih) 2. Dzabih (orang yang menyembelih) 3. Hewan yang disembelih 4. Alat menyembelih Syarat dalam pekerjaan menyembelih adalah memotong hulqum (jalan nafas) dan mari' (jalan makanan). Hal ini apabila hewannya maqdur (mampu disembelih dan dikendalikan) Kesunnahannya: a. Memotong wadajain (dua otot yang ada disamping kanan dan kiri) b. Menggunakan alat penyembelih yang tajam c. Membaca bismillah d. Membaca shalawat dan salam pada Nabi Muhammad. Karena menyembelih itu adalah tempat disyari'atkan untuk ingat pada Allah, maka juga disyari'atkan ingat pada Nabi Syarat orang yang menyembelih: a. Orang Islam / orang yang halal dinikahi orang Islam b. Bila hewannya ghoiru maqdur, maka disyaratkan orang yang menyembelih adalah orang yang bisa melihat. Dimakruhkan sembelihannya orang yang buta, anak yang belum tamyiz dan orang yang mabuk. Syarat hewan yang disembelih: a. Hewannya termasuk hewan yang halal dimakan b. Masih memiliki hayatun mustaqirrah (kehidupan yang masih tetap), bukan gerakan di ambang kematian kematian. Syarat alat penyembelih: Yaitu berupa sesuatu yang tajam yang bisa melukai, selain tulang belulang. Kiai M. Sholihuddin Shofwan * Katib Syuriyah MWCNU Bareng Jombang, dan Ketua LTN-NU Jombang

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati 02/04/2007 Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut: وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39) Juga hadits Nabi MUhammad SAW: اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ “Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.” Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya : وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن “Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat. وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ “Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19) سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ “Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud). Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain. Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”. Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya. Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya: عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ “Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.” Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup. KH Nuril Huda Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Selasa, 23 November 2010

Hadits tentang Ayah, Ibu, Anak, dan Keluarga

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press Ayah - Ibu - Anak - Keluarga 1. Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua. (HR. Al Hakim) 2. Seorang datang kepada Nabi Saw. Dia mengemukakan hasratnya untuk ikut berjihad. Nabi Saw bertanya kepadanya, "Apakah kamu masih mempunyai kedua orangg tua?" Orang itu menjawab, "Masih." Lalu Nabi Saw bersabda, "Untuk kepentingan mereka lah kamu berjihad." (Mutafaq'alaih) Penjelasan: Nabi Saw melarangnya ikut berperang karena dia lebih diperlukan kedua orang tuanya untuk mengurusi mereka. 3. Rasulullah Saw pernah berkata kepada seseorang, "Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu." (Asy-Syafi'i dan Abu Dawud) Keterangan: Terdapat satu riwayat yang cukup panjang berkaitan dengan hal ini. Dari Jabir Ra meriwayatkan, ada laki-laki yang datang menemui Nabi Saw dan melapor. Dia berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku ingin mengambil hartaku ...." "Pergilah Kau membawa ayahmu kesini", perintah beliau. Bersamaan dengan itu Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada beliau. Jibril berkata: "Ya, Muhammad, Allah 'Azza wa Jalla mengucapkan salam kepadamu, dan berpesan kepadamu, kalau orangtua itu datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh teliganya. Ketika orang tua itu tiba, maka nabi pun bertanya kepadanya: "Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil uangnya?" Lelaki tua itu menjawab: "Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah, bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang ammati (saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu) nya, atau untuk keperluan saya sendiri?" Rasulullah bersabda lagi: "Lupakanlah hal itu. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu!" Maka wajah keriput lelaki itu tiba-tiba menjadi cerah dan tampak bahagia, dia berkata: "Demi Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah Swt berkenan menambah kuat keimananku dengan ke-Rasul-anmu. Memang saya pernah menangisi nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya ..." Nabi mendesak: "Katakanlah, aku ingin mendengarnya." Orang tua itu berkata dengan sedih dan airmata yang berlinang: "Saya mengatakan kepadanya kata-kata ini: 'Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah, lantaran sakit dan deritamu, aku tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita. Lalu airmataku berlinang-linang dan meluncur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal aku tahu ajal pasti akan datang. Setelah engkau dewasa, dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan. Sayang..., kau tak mampu penuhi hak ayahmu, kau perlakukan daku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku, seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu ..., seakanakan kesejukann bagi orang-orang yang benar sudah dipasrahkan.' Selanjutnya Jabir berkata: "Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu seraya berkata: "Engkau dan hartamu milik ayahmu!" (HR. At-Thabarani dalam "As-Saghir" dan Al-Ausath). 4. Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya maka dia kafir. (HR. Muslim) Penjelasan: Yang dimaksud kufur nikmat dan bukan kufur akidah. 5. Barangsiapa menisbatkan keturunan dirinya kepada selain ayahnya sendiri dan dia mengetahuinya bahwa dia bukan ayah yang sebenarnya maka surga diharamkan baginya. (HR. Muslim) 6. Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?" Nabi Saw menjawab, "ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu." (Mutafaq'alaih). 7. Ibu dan Bapak berhak makan dari harta milik anak mereka dengan cara yang makruf. Seorang anak tidak boleh makan dari harta ibu bapaknya kecuali dengan ijin mereka. (HR. Ad-Dailami). 8. Barangsiapa berhaji untuk kedua orang tuanya atau melunasi hutang-hutangnya maka dia akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat dari golongan orang-orang yang mengamalkan kebajikan. (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Daar Quthni). 9. Rasulullah Saw ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah) Penjelasan: Kalau berbakti masuk surga dan kalau bersikap durhaka kepada mereka masuk neraka. 10. Apabila seorang meninggalkan do'a bagi kedua orang tuanya maka akan terputus rezekinya. (HR. Ad-Dailami) 11. Termasuk dosa besar seorang yang mencaci-maki ibu-bapaknya. Mereka bertanya, "Bagaimana (mungkin) seorang yang mencaci-maki ayah dan ibunya sendiri?" Nabi Saw menjawab, "Dia mencaci-maki ayah orang lain lalu orang itu (membalas) mencaci-maki ayahnya dan dia mencaci-maki ibu orang lain lalu orang lain itupun (membalas) mencaci-maki ibunya. (Mutafaq'alaih) 12. Kedudukan seorang paman sebagai (pengganti) kedudukan ayahnya. (HR. Adarqothani) 13. Warisan bagi Allah 'Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya. (HR. Ath-Thahawi). 14. Salah satu kenikmatan Allah atas seorang ialah dijadikan anaknya mirip dengan ayahnya (dalam kebaikan). (HR. Ath-Thahawi) 15. Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari) 16. Seorang datang kepada Nabi Saw dan bertanya, " Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?" Nabi Saw menjawab, "Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatirnu)." (HR. Aththusi). 17. Cintailah anak-anak dan kasih sayangi lah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki. (HR. Ath-Thahawi). 18. Bertakwalah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu. (HR. Bukhari dan Muslim) 19. Sama ratakan pemberianmu kepada anak-anakmu. Jika aku akan mengutamakan yang satu terhadap yang lain tentu aku akan mengutamakan pemberian kepada yang perempuan. (HR. Ath-Thabrani) 20. Barangsiapa mempunyai dua anak perempuan dan diasuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga. (HR. Bukhari) 21. Anak menyebabkan kedua orang tuanya kikir dan penakut. (HR. Ibnu Babawih dan Ibnu 'Asakir). 22. Barangsiapa memelihara (mengasuh) tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan wajib baginya masuk surga. (HR. Ath-Thahawi). 23. Seorang ibu yang kematian tiga orang puteranya lalu berserah diri (pasrah) kepada Allah, rela dan ikhlas, maka dia akan masuk surga. (HR. Muslim) 24. Ajarkan putera-puteramu berenang dan memanah. (HR. Ath-Thahawi). 25. Setiap anak tergadai dengan (tebusan) akikahnya (seekor atau dua ekor kambing) yang disembelih pada umur tujuh hari dan dicukur rambut kepalanya (sebagian atau seluruhnya) dan diberi nama. (HR. An-Nasaa'i) 26. Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaklah dia bersilaturrahim (berhubungan baik dengan keluarga dekat) niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya dan Allah memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikanNya. (HR. Ar-Rabii'). 27. Ibu mertua kedudukannya sebagai ibu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad) 28. Abang yang tertua (sulung) kedudukannya sebagai ayah. (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani) 29. Orang yang memutus hubungan kekeluargaan tidak akan masuk surga. (Mutafaq'alaih) 30. Rahim adalah cabang dari nama Arrahman (Arrahman Arrahim). Rahim mengucapkan keluhan dan pengaduan: "Ya Robbi, aku telah diputus (hubungan kekeluargaanku), aku telah diperlakukan dengan buruk oleh keluarga dekatku. Ya Robbi, aku telah dizalimi mereka, ya Robbi, ya Robbi." Lalu Allah menjawab: "Tidakkah kamu ridha Aku menyambung hubunganKu dengan orang yang menghubungimu dan Aku putus hubunganKu dengan orang yang memutus hubungannya dengan kamu. (HR. Bukhari) 31. Rasulullah Saw memberi uang belanja kepada keluarga beliau dari bagian rampasan perang yang menjadi hak beliau untuk kebutuhan rumah tangga selama setahun. Apabila ternyata ada kelebihannya maka uang itu diminta kembali dan dimasukkan ke dalam perbendaharaan negara (baitul maal). (HR. Ahmad) 33. Cukup berdosa orang yang menyia-nyiakan tanggungjawab keluarga. (HR. Abu Dawud). 32. Bukanlah dari golongan kami orang yang diperluas rezekinya oleh Allah lalu kikir dalam menafkahi keluarganya. (HR. Ad-Dailami)

Hal-Hal Yang Perlu Diketahui Seorang Pemimpin Yang Baik

Menjadi pemimpin menjadi salah satu tugas yang dibebankan kepada manusia di muka bumi ini. Setiap orang adalah pemimpin dan harus bisa memimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Mustafa Masyur dalam buku Qiyadah Wal Jundiyah memaparkan beberapa hal yang penting untuk diketahui seorang pemimpin yang baik, khususnya sebagai seorang pemimpin dakwah. Amanah dan Tanggung Jawab Pemimpin Besar dan beratnya tanggung jawab pimpinan ditentukan oleh besarnya cita-cita dan kemajuan yang akan dicapai, sedangkan cita-cita kita adalah menegakkan Dinullah dengan membangun Daulah Islamiyah sedunia;beratnya amanah tergantung luasnya daerah dan medan pegerakan;semakin besar dengan banyaknya anggota;produktivitas yang dihasilkan;kompleksnya persoalan dunia Islam;harapan yang ditaruh oleh seluruh ummat Islam;dan berlikunya jalan dakwah ini beserta rintangan yang menghadang. Terakhir, amanah pimpinan jamaah ini berat karena karakter tahap dakwah yang sedang dilaluinya. Hal-Hal yang Membantu Terlaksananya Tugas Pimpinan 1. Ikhlas karena Allah semata, serta selalu banar dan jujur pada-Nya. 2. Peka terhadap pengawasan dan penjagaan Allah. 3. Memohon pertolongan dan perlindungan Allah dalam seluruh keadaan dan aktivitasnya. 4. Memiliki rasa tangung jawab yang besar. 5. Memberikan perhatian cukup kepada masalah pendidikan (tarbiyah), serta menyiapkan kader pengganti. 6. Terjalinnya rasa kasih sayang dan ukhuwwah yang tulus di kalangan anggota jamaah, khususnya antara anggota dan pimpinan. 7. Merencanakan program dengan tepat, menentukan tujuan, tahapan, cara, sarana, persiapan-persiapan sesuai dengan kemampuan. 8. Para pimpinan cabang dan anggota harus merasakan beratnya amanah yang tanggung jawab pimpinan pusat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. 9. Bersungguh-sunguh menyalakan cita-cita, mengukuhkan tekad dna membangkitkan harapan di kalangan anggota jamaah. Ada tiga faktor keberhasilan yang perlu diperhatikan, pertama, dakwah ini adalah kekuatan dakwah kita yang merupakan dakwah Allah; Kedua, Tujuan kita yang murni; Ketiga, ketergantungan kita hanya kepada pertolongan dan dukungan Allah. Sifat ? sifat yang harus dimiliki setiap pemimpin dakwah: 1. Senantiasa mengharapkan akhirat dengan ikhlas krena Allah semata. 2. Budaya ingat kuat, bijak, cerdas, berpengalaman luas, berpandangan jauh dna tajam, berwasasan luas, mampu menganalisis berbagai persoalan dari segala segi dengan tepat dan cepat menerapkan hasil analisanya dengan baik. 3. Berperangai penyantun, lemah lembut, dan ramah. 4. Bersifat bersahabat. 5. Berani dan sportif, tidak pengecut,dam tidak membabi buta. 6. Shiddiq, benar dalam berkata, sikap dan perbuatan. 7. Tawadhu?,merendahkan diri dan tidak membanggakan diri kepada manusia. 8. Memaafkan, menahan marah dan berkalu ihsan. 9. Menepati janji dan sumpah setia. 10. Sabar, karena jalan dakwah adalah jalan panjang yang penuh onak dan duri. 11. Iffah dan Kiram. 12. Wara? dan Zuhud. 13. Adil dan jujur meskipun terhadap diri sendiri. 14. Tidak mengungkit-ungkit dan menyombongkan diri. 15. Memelihara hal-hal yang dimuliakan Allah. 16. Berlapang dada dan tidak melayani pengumpat dan pengadu domba. 17. Tekad bulat, tawakal dan yakin. 18. Sederhana dalam segala hal. 19. Bertahan dalma kebenaran dengan teguh dan pantang mundur. 20. Menjauhi sikap pesimistis dan over estimasi. Petunjuk Pergaulan antara Pemipin dan Anggota: 1. Pemimpin harus pandai memilih orang yang layak dalam jabatan dan persoalan tertentu. 2. Tidak bersikap pesimis dan buruk sangka. 3. Dapat bergaul dengan para pembantu dan anggotanya. 4. Memperbaiki pembagian tugas dan mnentukan spesialisasi. 5. Menentukan, mengatur, dan memudahkan jalur komunikasi di setiap peringkat dan bagian. 6. Berusaha sungguh-sungguh meningkatkan posisi kepemimpinan dna melatih anggota sesuai dengan bidang masing-masing. 7. Memberikan kebebasan kepada pimpnan tingkat cabang untuk memilih sarana dan cara paling baik. 8. Membangkitkan semangan kerja sama antara para pimpinan cabang. 9. Membiasakan diri bermusyawarah dengan para pembantunya sebelum mengambil keputusan penting. 10. Menentukan keputusan dan perintah yang hendak dilaksanakan. 11. Mengadakan pertemuan-pertemuan rutin untuk menyelaraskan gerakan dan kerja sama. 12. Memperhatikan mata rantai kmunikasi. 13. Selain menegur dan mebetulkan kesalahan anggotanya juga selalu mendorong dan meningkatkan semangat orang-orang yang telah menjalankan tugasnya dengan baik. 14. Semua anggota jamaah bekerja sama semata-mata karen Allah. 15. Memiliki pengetahuan lengkap tetang perjalanan gerakan, pelaksanaan dan aktivitas yang dilakukan para pelaksana atau anggota yang diserahi tugas tertentu. 16. Meminta pandangan dan saran-saran anggota tertentu yang berguna. 17. Seorang anggota tidak boleh diberi tugas dalam satu bidang gerakan kecuali ia telah benar-benar menguasai bidang tersebut. 18. Orang yang terlalu bersemangat sebenarnya berbahay jika diletakkan di tempat yang strategis. 19. Jika kalah dalam pertarungan, pemimpin harus segera meningkatkan moral anggotanya. Hal umum yang perlu diperhatikan pemimpin: 1. Memperhatikan kelurusan, keaslian, kemantapan jalan dakwah serta menjauhi segala bentuk penyimpangan. 2. Memadukan antara generasi pertama dengan generasi penerus. 3. Harus waspada terhadap ebrbagai usaha musuh. 4. Memelihara tabiat gerakan dakwah dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada. 5. Waspada dan hati-hati mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan darah seorang Muslim. Istilah terkait: pemimpin yang baik menurut islam, seorang pemimpin yang baik, pemimpin yang baik, tugas SEORANG PEMIMPIN, sikap pemimpin yang baik, cara memimpin yang baik, tugas pemimpin, sikap seorang pemimpin, cara pemimpin yang baik, sikap seorang pemimpin yang baik

Mukjizat Al-Quran Terhadap Organ Tubuh

Tentang mukjizat Al-Quran, Keluarbiasaan Al-Quran sudah banyak sekali dibahas dimana-mana. Membuktikan kitab teragung dan paling sempurna ini bukan sekedar kitab biasa apalagi merupakan buatan manusia. Al-Quran pun memiliki kekuatan yang terbukti secara ilmiah memberi pengaruh positif bagi kesehatan, Atikel berikut menjelaskannya, Pengaruh Qur’an Terhadap Organ Tubuh [Dievalusi dengan menggunakan perangkat elektronik] Dr. Ahmad Al-Qadhiy (United States of America) Ada menyeruak perhatian yang begitu besar terhadap kekuatan membaca Al-Qur’an, dan yang terlansir di dalam Al-Qur’an, dan pengajaran Rasulullah. Dan sampai beberapa waktu yang belum lama ini, belum diketahui bagaimana mengetahui dampak Al-Qur’an tersebut kepada manusia. Dan apakah dampak ini berupa dampak biologis ataukah dampak kejiwaan, ataukah malah keduanya, biologis dan kejiwaan. Maka, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kami memulai sebuah penelitian tentang Al-Qur’an dalam pengulangan-pengulangan “Akbar” di kota Panama wilayah Florida. Dan tujuan pertama penelitian ini adalah menemukan dampak yang terjadi pada organ tubuh manusia dan melakukan pengukuran jika memungkinkan. Penelitian ini menggunakan seperangkat peralatan elektronik dengan ditambah komputer untuk mengukur gejala-gejala perubahan fisiologis pada responden selama mereka mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Penelitian dan pengukuran ini dilakukan terhadap sejumlah kelompok manusia: 1. Muslimin yang bisa berbahasa Arab. 2. Muslimin yang tidak bisa berbahasa Arab 3. Non-Islam yang tidak bisa berbahasa Arab. Pada semua kelompok responden tersebut dibacakan sepotong ayat Al-Qur’an dalam bahasa Arab dan kemudian dibacakan terjemahnya dalam bahasa Inggris. Dan pada setiap kelompok ini diperoleh data adanya dampak yang bisa ditunjukkan tentang Al-Qur’an, yaitu 97% percobaan berhasil menemukan perubahan dampak tersebut. Dan dampak ini terlihat pada perubahan fisiologis yang ditunjukkan oleh menurunnya kadar tekanan pada syaraf secara sprontanitas. Dan penjelasan hasil penelitian ini aku presentasikan pada sebuah muktamar tahunan ke-17 di Univ. Kedokteran Islam di Amerika bagian utara yang diadakan di kota Sant Louis Wilayah Mizore, Agustus 1984. Dan benar-benar terlihat pada penelitian permulaan bahwa dampak Al-Qur’an yang kentara pada penurunan tekanan syaraf mungkin bisa dikorelasikan kepada para pekerja: Pekerja pertama adalah suara beberapa ayat Al-Qur’an dalam Bahasa Arab. Hal ini bila pendengarnya adalah orang yang bisa memahami Bahasa Arab atau tidak memahaminya, dan juga kepada siapapun (random). Adapun pekerja kedua adalah makna sepenggal Ayat Al-Qur’an yang sudah dibacakan sebelumnya, sampai walaupun penggalan singkat makna ayat tersebut tanpa sebelumnya mendengarkan bacaan Al-Qur’an dalam Bahasa Arabnya. Adapun Tahapan kedua adalah penelitian kami pada pengulangan kata “Akbar” untuk membandingkan apakah terdapat dampak Al-Qur’an terhadap perubahan-perubahan fisiologis akibat bacaan Al-Qur’an, dan bukan karena hal-hal lain selain Al-Qur’an semisal suara atau lirik bacaan Al-Qur’an atau karena pengetahun responden bahwasannya yang diperdengarkan kepadanya adalah bagian dari kitab suci atau pun yang lainnya. Dan tujuan penelitian komparasional ini adalah untuk membuktikan asumsi yang menyatakan bahwa “Kata-kata dalam Al-Qur’an itu sendiri memiliki pengaruh fisiologis hanya bila didengar oleh orang yang memahami Al-Qur’an . Dan penelitian ini semakin menambah jelas dan rincinya hasil penelitian tersebut. Peralatan Peralatan yang digunakan adalah perangkat studi dan evaluasi terhadap tekanan syaraf yang ditambah dengan komputer jenis Medax 2002 (Medical Data Exuizin) yang ditemukan dan dikembangkan oleh Pusat Studi Kesehatan Univ. Boston dan Perusahaan Dafikon di Boston. Perangkat ini mengevaluasi respon-respon perbuatan yang menunjukkan adanya ketegangan melalui salah satu dari dua hal: (i) Perubahan gerak nafas secara langsung melalui komputer, dan (ii) Pengawasan melalui alat evaluasi perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh. Perangkat ini sangat lengkap dan menambah semakin menguatkan hasil validitas hasil evaluasi. Subsekuen: 1. Program komputer yang mengandung pengaturan pernafasan dan monitoring perubahan fisiologis dan printer. 2. Komputer Apple 2, yaitu dengan dua floppy disk, layar monitor dan printer. 3. Perangkat monitoring elektronik yang terdiri atas 4 chanel: 2 canel untuk mengevaluasi elektrisitas listrik dalam otot yang diterjemahkan ke dalam respon-respon gerak syaraf otot; satu chanel untuk memonitor arus balik listrik yang ke kulit; dan satu chanel untuk memonitor besarnya peredaran darah dalam kulit dan banyaknya detak jantung dan suhu badan. Berdasarkan elektrisitas listrik dalam otot-otot, maka ia semakin bertambah yang menyebabkan bertambahnya cengkeraman otot. Dan untuk memonitor perubahan-perubahan ini menggunakan kabel listrik yang dipasang di salah satu ujung jari tangan. Adapun monitoring volume darah yang mengalir pada kulit sekaligus memonitor suhu badan, maka hal itu ditunjukkan dengan melebar atau mengecilnya pori-pori kulit. Untuk hal ini, menggunakan kabel listrik yang menyambung di sekitar salah satu jari tangan. Dan tanda perubahan-perubahan volume darah yang mengalir pada kulit terlihat jelas pada layar monitoryang menunjukkan adanya penambahan cepat pada jantung. Dan bersamaan dengan pertambahan ketegangan, pori-pori mengecil, maka mengecil pulalah darah yag mengalir pada kulit, dan suhu badan, dan detak jantung. Metode dan Keadaan yang digunakan: Percobaan dilakukan selama 210 kali kepada 5 responden: 3 laki-laki dan 2 perempuan yang berusia antara 40 tahun dan 17 tahun, dan usia pertengahan 22 tahun. Dan setiap responden tersebut adalah non-muslim dan tidak memahami bahasa Arab. Dan percobaan ini sudah dilakukan selama 42 kesempatan, dimana setiap kesempatannya selama 5 kali, sehingga jumlah keseluruhannya 210 percobaan. Dan dibacakan kepada responden kalimat Al-Qur’an dalam bahasa Arab selama 85 kali, dan 85 kali juga berupa kalimat berbahasa Arab bukan Al-Qur’an. Dan sungguh adanya kejutan/shock pada bacaan-bacaan ini: Bacaan berbahasa Arab (bukan Al-Qur’an) disejajarkan dengan bacaan Al-Qur’an dalam lirik membacanya, melafadzkannya di depan telingga, dan responden tidak mendengar satu ayat Al-Qur’an selama 40 uji-coba. Dan selama diam tersebut, responden ditempatkan dengan posisi duduk santai dan terpejam. Dan posisi seperti ini pulalah yang diterapkan terhadap 170 uji-coba bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur’an. Dan ujicoba menggunakan bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur’an seperti obat yang tidak manjur dalam bentuk mirip seperti Al-Qur’an, padahal mereka tidak bisa membedakan mana yang bacaan Al-Qur’an dan mana yang bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur’an. Dan tujuannya adalah utuk mengetahui apakah bacaan Al-Qur’an bisa berdampak fisiologis kepada orang yang tidak bisa memahami maknanya. Apabila dampak ini ada (terlihat), maka berarti benar terbukti dan dampak tidak ada pada bacaan berbahasa Arab yang dibaca murottal (seperti bacaan Imam Shalat) pada telinga responden. Adapun percobaan yang belum diperdengarkan satu ayat Al-Qur’an kepada responden, maka tujuannya adalah untuk mengetahui dampak fisiologis sebagai akibat dari letak/posisi tubuh yang rileks (dengan duduk santai dan mata terpejam). Dan sungguh telah kelihatan dengan sangat jelas sejak percobaan pertama bahwasannya posisi duduk dan diam serta tidak mendegarkan satu ayat pun, maka ia tidak mengalami perubahan ketegangan apapun. Oleh karena itu, percobaan diringkas pada tahapan terakhir pada penelitian perbandingan terhadap pengaruh bacaan Al-Qur’an dan bacaan bahasa Arab yang dibaca murottal seperti Al-Qur’an terhadap tubuh. Dan metode pengujiannya adalah dengan melakukan selang-seling bacaan: dibacakan satu bacaan Al-Qur’an, kemudian bacaan vahasa Arab, kemudian Al-Qur’an dan seterusnya atau sebaliknya secara terus menerus. Dan para responden tahu bahwa bacaan yang didengarnya adalah dua macam: Al-Qur’an dan bukan Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mampu membedakan antara keduanya, mana yang Al-Qur’an dan mana yang bukan. Adapun metode monitoring pada setiap percobaan penelitian ini, maka hanya mencukupkan dengan satu chanel yaitu chanel monitoring elektrisitas listrik pada otot-otot, yaitu dengan perangkat Midax sebagaimana kami sebutkan di atas. Alat ini membantu menyampaikan listrik yang ada di dahi. Dan petunjuk yang sudah dimonitor dan di catat selama percobaan ini mengadung energi listrik skala pertengahan pada otot dibandingkan dengan kadar fluktuasi listrik pada waktu selama percobaan. Dan sepanjang otot untuk mengetahui dan membandingkan persentase energi listrik pada akhir setiap percobaan jika dibandingkan keadaan pada awal percobaan. Dan semua monitoring sudah dideteksi dan dicatat di dalam komputer. Dan sebab kami mengutamakan metode ini untuk memonitor adalah karena perangkat ini bisa meng-output angka-angka secara rinci yang cocok untuk studi banding, evaluasi dan akuntabel.. Pada satu ayat percobaan, dan satu kelompok percobaan perbandingan lainnya mengandung makna adanya hasil yang positif untuk satu jenis cara yang paling kecil sampai sekecil-kecilnya energi listrik bagi otot. Sebab hal ini merupakan indikator bagusnya kadar fluktuasi ketegangan syaraf, dibandingkan dengan berbagai jenis cara yang digunakan responden tersebut ketika duduk. Hasil Penelitian Ada hasil positif 65% percobaan bacaan Al-Qur’an. Dan hal ini menunjukkan bahwa energi listrik yang ada pada otot lebih banyak turun pada percobaan ini. Hal ini ditunjukkan dengan dampak ketegangan syaraf yang terbaca pada monitor, dimana ada dampak hanya 33 % pada responden yang diberi bacaan selain Al-Qur’an. Pada sejumlah responden, mungkin akan terjadi hasil yang terulang sama, seperti hasil pengujian terhadap mendengar bacaan Al-Qur’an. Oleh karena itu, dilakukan ujicoba dengan diacak dalam memperdengarkannya (antara Al-Qur’an dan bacaan Arab) sehingga diperoleh data atau kesimpulan yang valid. Pembahasan Hasil Penelitian dan Kesimpulan Sungguh sudah terlihat jelas hasil-hasil awal penelitian tentang dampak Al-Qur’an pada penelitian terdahulu bahwasanya Al-Qur`an memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap syaraf. dan mungkin bisa dicatat pengaruh ini sebagai satu hal yang terpisah, sebagaimana pengaruh inipun terlihat pada perubahan energi listrik pada otot-otot pada organ tubuh. dan perubah-perubahan yang terjadi pada kulit karena energi listrik, dan perubahan pada peredaran darah, perubahan detak jantung, voleme darah yang mengalir pada kulit, dan suhu badan. Dan semua perubahan ini menunjukan bahwasanya ada perubahan pada organ-organ syaraf otak secara langsung dan sekaligus mempengaruhi organ tubuh lainnya. Jadi, ditemukan sejumlah kemungkinan yang tak berujung ( tidak diketahui sebab dan musababnya) terhadap perubahan fisiologis yang mungkin disebabkan oleh bacaan Al-Qur`an yang didengarkannya. Oleh karena itu sudah diketahui oleh umum bahwasanya ketegangan-ketegangan saraf akan berpengaruh kepada dis-fungsi organ tubuh yang dimungkinkan terjadi karena produksi zat kortisol atau zat lainnya ketika merespon gerakan antara saraf otak dan otot. Oleh karena itu pada keadaan ini pengaruh Al-Qur`an terhadap ketegangan saraf akan menyebabkan seluruh badannya akan segar kembali, dimana dengan bagusnya stamina tubuh ini akan menghalau berbagai penyakit atau mengobatinya. Dan hal ini sesuai dengan keadaan penyakit tumor otak atau kanker otak. Juga, hasil uji coba penelitian ini menunjukan bahwa kalimat-kalimat Al-Qur`an itu sendiri memeliki pengaruh fisiologis terhadap ketegangan organ tubuh secara langsung, apalagi apabila disertai dengan mengetahui maknanya. Dan perlu untuk disebutkan disini bahwasanya hasil-hasil penelitian yang disebutkan diatas adalah masih terbatas dan dengan responden yang juga terbatas. Istilah terkait: mujizat alquran, mukjizat alquran, mukjizat al quran, mukjizat al-quran, ayat alquran tentang kesehatan, jenis organ dalam tubuh manusia, mujijat alquran, alquran dan kesehatan, bacaan arab, sebab penyakit pada tubuh menurut islam

Senin, 15 November 2010

Jenis-jenis Makanan Haram dan Halal

[LENGKAP] Jenis-jenis Makanan Haram dan Halal Ditulis oleh Admin di/pada 30/11/2009 Makanan Halal & Haram Dari A Sampai Z Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan [1] yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda: أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ “Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”. Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis: 1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya. 2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya. Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram. [Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan] Sebelum kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan. -Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya. Allah -Ta’ala- berfirman: هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29) Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik. Dalam ayat yang lain: وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119) Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal [2]. Faidah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93) Karenanya tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan” [3]. -Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot”. Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya: يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168) Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya: وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157) Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya: وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195) Juga sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-: لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”. Karenanya diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya. Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda: إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Faidah: 1. Makna makanan yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda: أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ “Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian”. (HR. Al-Bukhary) Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya. 2. Makanan yang jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu’ Al-Fatawa (20/334). 3. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa yang dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau. Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu’ (9/25-26), dan Asy-Syarhul Kabir (11/64). Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah -Ta’ala-: يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4) Beliau berkata, “Seandainya makna “yang baik” di sini adalah apa yang dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya4. Maka dari sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati (merasa lezat) dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun [5], atau menikmati apa yang dilarang oleh dokter [6]. Dan bukan pula yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan pula dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan itu tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya telah diharamkan oleh Allah -Ta’ala-. …. . Demikian halnya Quraisy, mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya”. -Lalu beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya [7]-. “Maka dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari bangsa Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan) pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab” [8]. -Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia secara umum ada dua jenis: 1. Selain hewan, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya). Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot. 2. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air. Hewan darat juga terbagi menjadi dua; 1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak 2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya. Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syari’at [9], yang rinciannya insya Allah akan datang satu persatu. Hewan air juga terbagi menjadi 2: 1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya. 2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [10]. Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-: أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96) Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya: 1. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195) 2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ “Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9) [Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195] Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya [11]. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33) Setelah memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut penyebutan satu persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya masing-masing: 1. Bangkai Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’iy dan juga bukan hasil perburuan. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3) Dan juga dalam firmannya: وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121) Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas: 1. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik. 2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras. 3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi. 4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya. 5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas. 6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum. 7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah. 8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah. 9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’: مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ “Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya) Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan: 1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok. 2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’: أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ “Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) 3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ “Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”. Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang. [Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama] 2. Darah. Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145: أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا “Atau darah yang mengalir”. Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan. 3. Daging babi. Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya. 4. Khamar. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90 Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’: كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”. Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya. 5. Semua hewan buas yang bertaring. Sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- berkata: أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ “Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”. Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117). Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya. [Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)] 6. Semua burung yang memiliki cakar. Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-: نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ “Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. (HR. Muslim) [Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)] 7. Jallalah. Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128). Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata: نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy (3787)) Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah: 1. Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’ (3/529). 2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28). [Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)] 8. Keledai jinak (bukan yang liar). Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu ‘anhu- berkata: أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ “Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak”. (HR. Muslim) Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya”. Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65). [Al-Bada`i' (5/37), Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/525), dan Al-Bidayah (1/344]. 9. Kuda. Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu ‘anhuma-: نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ “Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440). [Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)] 10. Baghol. Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata: حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy) Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)]. 11. Anjing. Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda: إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]“. Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing. [Al-Luqothot point ke-12] 12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar. Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya. [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)] 13. Monyet. Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)” [13]. [Al-Luqothot point ke-13] 14. Gajah. Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-. [Al-Luqothot point ke-14] 15. Musang (arab: tsa’lab) Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)] 16. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un) Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152). Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany. Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)] 17. Kelinci. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-: أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ “Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”. Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”. [Al-Luqothot point ke-16] 18. Belalang. Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-: غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ “Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim). [Al-Luqothot point ke-17] 19. Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]). Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak: كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ “Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar) Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya: لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي “Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”. Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)] 20. Landak. Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10). 21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah. Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih). Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. [Al-Luqothot point ke-19 s/d 23] 22. Yarbu’. Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)] 23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak. Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا “Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim) Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek). [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)] 24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon). Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan. [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30] 25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih” [16]. [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34] Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan. Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq. Footnote : 1. Arab:tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat Tahdzibul Asma’ (2/186) 2. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/135 3. Al-Ikhtiyarot hal 321 4. Yakni karena berarti ayatnya akan bermakna : “dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya tidak memiliki faidah tambahan 5. Seperti : narkoba dengan semua jenisnya, rokok dan selainnya 6. Yakni untuk kesembuhannya dari sebuah penyakit 7. Akan datang haditsnya pada point ke 19 8. Majmu’ Al Fatawa (17/178-180) dan al-Ikhtiyarot hal 321 9. Manhajus Salikin hal 52 10. Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan Al-Majmu’ 9/31-32 11. Akan datang dalil pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke 21 12. Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga 13. Al Muhalla 7/429 14. Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’iy, At-Timirdzi dan Ibnu Majah 15. Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Wallahu a’lam. 16. Al-Muhalla 7/405 Referensi: 1. Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan, cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh. 2. Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby. 3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah . 4. Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.