Mukhlish adalah kata yang terambil dari bahasa Arab, artinya tulus hati, jujur, (AW. Munawwir, Kamus al Munawwir, hl 360). Dalam bahasa lndonesia Mukhlish dapat pula dimaknai orang yang ikhlas (orang yang tulus hatinya dan jujur). Orang yang ikhlas pun diartikan lebih luas dengan orang yang mengharap keridhaan Allah SWT, beriman kepada-Nya dan selalu berbuat kebaikan karena Allah SWT.
Ciri-ciri Orang Ikhlas
Untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang ikhlas dapat dikenal melalui ciri-cirinya. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan berbagai ciri orang ikhlas itu, antara lain:Bersikap hati-hati karena Allah
Bersikap hati-hati karena Allah SWT, bukan berarti tidak dinamis, malas, apatis, lamban bekerja, setengah hati dalam berusaha atau menyesal menunggu takdir Tuhan. Tetapi hati-hati, di sini mengandung arti berusaha dengan giat, bekerja sungguh-sungguh dan melakukan yang terbaik sesuai keridhaan Allah SWT.Hati-hati, takut melakukan kesalahan bukan karena adanya pengawasan manusia semata tetapi juga merasakan kehadiran Allah SWT. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang-orang. yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka ” (QS. Al Mukminun : 57).
Beriman Kepada Kitab Allah
Orang yang ikhlas akan berpegang teguh kepada ayat-ayat Allah. Sekarang ada kecenderungan, bahwa Al Qur’an hanya ditelaah dan dibaca oleh para ustadz, guru dan kyai. Sebagian umat Islam bila belum bisa baca Al Qur’an merasa sedih dan mereka terus belajar. Tetapi tidak jarang ada yangt idak merasa apa-apa bila belum bisa baca Al-Qur’an padahal sudah dewasa.Lain halnya ketika saat ini bahasa Inggris, komputer jadi begitu penting dan nyatanya belum bisa, mereka merasa ketinggalan. Bagaimana kita beriman penuh kepada Al Qur’an jika masih ada yang belum bisa membaca Al-Quran? Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka” (QS. Al Mukminun: 58).
Setelah mampu membaca ayat-ayat Al Qur’an, orang-orang yang ikhlas itu berusaha memahami makna yang ada pada ayat itu. Mereka tidak merasa asing dengan pesan-pesan Allah SWT di dalam Al Qur’an. Kadang kala ketika seorang muslim tidak pemah membaca makna atau terjemahan Al-Qur’an, ia sering merasa aneh. Aneh mendengar arti atau makna firman Allah SWT ketika khatib/ustadz berpidato menyampaikan ayat-ayat-Nya. Firman Allah SWT: “Kitab ini (Al-Qur ‘an) tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 2).
Tidak mempersekutukan Allah.
Antara syirik dan tauhid dapat diibaratkan dengan diam dan bergerak. Jika seseorang diam tentu ia tidak bergerak. Demikian pula orang yang ikhlas memiliki tingkatan ketauhidan yang tinggi. Sebaliknya ia tidak mensekutukan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun) ” (QS. Al Mukminun: 59)Tentunya pernyataan tidak syirik berulang kali disebut dalam ucapan syahadat,bagi orang yang ikhlas. Syahadat itu merupakan “benteng” sehingga ia tidak melanggar larangan Allah SWT. Selanjutnya selalu semangat beribadah atau beramal shaleh.
Orang yang ikhlas tidak akan tergoda dari bujuk rayu syetan supaya meminta tolong pada selain Allah SWT. la akan menjauhi perbuatan yang menodai nilai-nilai tauhid seperti, tahayul, khurafat dan syirik.
Memberi infaq karena Allah
Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Mukminun: 60).Orang yang ikhlas tidak mengharapkan balasan dari orang yang diberi, dari orang yang ditolong. Tetapi harapannya hanya tertuju kepada Allah SWT. la akan berdoa agar kebaikan yang diberikan di jalan Allah itu betul-betul dibalas Allah SWT dengan kebaikan lagi.
Orang yang ikhlas akan memperhatikan betul waktu dan tata cara memberikan hartanya di jalan Allah, Saat berzakat, dan infak, ia akan hati-hati dari sikap riya. Saat menolong orang lain ia akan hati-hati dari sikap sum’ah (mengatakan kebaikannya pada orang lain), riya (ingin dpiuji) dan humazah (mencela atau menyakiti orang yang ditolong).
Orang ikhlas, setelah menafkahkan hartanya akan merasakan kebahagiaan tersendiri atau merasa puas, tetapi pada saat ia tak puas, maka ia berhusnuzzan kepada Allah SWT bahwa ibadah maaliyahnya diterima Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pandangan Ibnu Taimiyah.
la berkata: “Jika kamu tidak menemukan kenikmatan dalam hatimu, padahal kamu telah berbuat amal kebaikan, serta tidak kamu temukan kelapangan dalam dada, maka kamu perlu berprasangka bahwa Tuhan Maha Penerima. Maksudnya Allah mau tak mau harus memberikan balasan berupa pahala kepada orang yang telah beramal shaleh di dunia, balasan tersebut berupa kenikmatan yang telah ditemukan dalam hatinya berupa kelapangan dada dan ketenangan hati “. (DR.Khalid Abu Syadi, Kebaikan di atas Kebaikan, hl 26).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar