Vaksinasi Dan Sistem Dajjal
Berita yang memuat hasil temuan LPPOM Majelis
Ulama Islam Sumatera Selatan yang menyimpulkan bahwa Vaksin Meningitis
mengandung enzim porchin dari babi ternyata berbuntut panjang.
Bagaimana tidak, sebab Vaksin Meningitis diharuskan Pemerintah Kerajaan
Arab Saudi bagi calon jamaah haji Indonesia, bahkan seluruh jamaah haji
sedunia. Anggota Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' (MPKS)
Departemen Kesehatan (Depkes), Prof Jurnalis Udin berkata: ''Pemerintah
berniat melindungi rakyat, karena Pemerintah Arab Saudi mewajibkan
calon jamaah haji harus divaksin supaya tidak terserang meningitis.'' (Koran
Republika Kamis, 30 April 2009 pukul 23:27:00) Mau berangkat
melaksanakan ibadah malah disyaratkan untuk dimasukkan terlebih dahulu
zat najis ke dalam tubuh para hamba Allah tersebut..! Kalau kita ikuti
pemberitaan soal kasus ini -di harian yang sama- ternyata pendapat yang
muncul saling kontra satu sama lain. Ada sementara fihak yang terkesan
meringan-ringankan masalahnya dan ada fihak lainnya yang tampak sangat
peduli dan prihatin.
Pertama, hasil temuan LPPOM
Majelis Ulama Islam Sumatera Selatan tersebut sudah
melewati forum diskusi dengan para pakar, diantaranya pakar
farmakologi Prof Dr T Kamaluddin Ketua Program Pasca Sarjana Universitas
Sriwijaya (Unsri), pakar penyakit dalam dan pakar dokter anak. Artinya,
ini bukan sekedar suatu lontaran yang diajukan oleh sekumpulan ulama
yang hanya bergerak di bidang ilmu agama Islam semata. Ternyata mereka
dengan penuh tanggung-jawab sudah melibatkan fihak yang memang
membidangi urusan terkait. Sehingga sangat tidak pantas jika Departemen
Kesehatan (Depkes) meragukan dugaan temuan LPPOM MUI Sumatra Selatan
tentang kandungan enzim babi dalam vaksin meningitis (radang selaput
otak) yang biasa digunakan jamaah haji dan umrah Indonesia. Jadi apa
yang mereka sampaikan tentang vaksin meningitis yang mengandung enzim
babi bukan tanpa melalui kajian. (Republika Newsroom Senin, 27
April 2009 pukul 11:42:00)
Sekretaris MUI Sumsel KH Ayik Farid berkata: ”Dalam
Rakernas MUI sudah kami sampaikan bahwa proses pembuatan vaksin
meningitis tersebut menggunakan enzim porchin dari
binatang babi. LPPOM MUI Pusat juga sudah mengakui itu, namun karena
sudah ada kontrak pengadaan vaksin tersebut selama lima tahun maka
penggunaannya tidak bisa diganti.” (Republika Newsroom Senin, 27
April 2009 pukul 11:42:00)
Benarkah hanya karena terlanjur sudah ada
kontrak pengadaan vaksin selama lima tahun, maka penggunaannya tidak
bisa diganti? Walaupun itu berarti mewajibkan terus-menerus jamaah haji
untuk memasukkan ke dalam tubuhnya –lebih tepatnya ke dalam darahnya-
zat najis yang tentunya bisa merusak ke-mabrur-an ibadah hajinya?
Kedua, ternyata kasus vaksin
meningitis mengandung enzim babi ini merupakan kasus lama.
Pemerintah –dalam hal ini Depkes dan Depag- sudah mengetahui hal ini
sejak lama. Bahkan Direktur LPPOM MUI, Nadratuzzaman, mengatakan bahwa
pemerintah sendiri sudah mengetahui kasus ini, tapi hanya mendiamkan
saja. Laa haula wa laa quwwata illa billah...! Jadi, ini bukan
suatu kasus yang baru terdeteksi sekarang. Ia sudah diketahui sejak
lama. ”Nadratuzzaman menyayangkan sikap pemerintah yang hanya berdiam
diri, padahal mereka sudah tahu masalah ini sejak lama. Pihaknya
mengaku telah mengirimkan surat berkali-kali ke Departemen Kesehatan
agar mengganti vaksin yang mengandung enzim babi itu. "Tapi, tidak ada
balasan. Mereka hanya menganggap kita membuat resah masyarakat," ujarnya
menegaskan.” (Koran Republika Rabu, 29 April 2009 pukul 23:41:00)
Mengapa kasus yang demikian besar pengaruhnya
bagi ke-mabrur-an jamaah haji dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah
cq Depkes dan Depag?
Ketiga, pejabat tertinggi di kedua
departemen yang paling bertanggungjawab dalam masalah ini tidak
memberikan respon sebagaimana mestinya. Malah terkesan mengelak
atau menyalahkan fihak lain. Menteri Kesehatan misalnya malah membantah
tanpa pikir panjang bahwa vaksin Meningitis mengandung enzim babi. ”Depkes
pernah melakukan penelitian kandungan vaksin itu dan ternyata negatif
mengandung enzim babi. ''Tidak ada itu, tidak betul tuh,'' ujar
Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari, dalam pesan singkatnya
yang diterima Republika, Senin (27/4).” (Republika Newsroom
Senin, 27 April 2009 pukul 16:52:00)
Tanggapan Menteri Agama bahkan terdengar lebih aneh
dan cenderung menyalahkan fihak lain: ''Saya sangat kecewa dan
menyayangkan cara penyampaiannya yang dilakukan MUI. Mestinya, cukup
disampaikan kepada kami, Menteri Agama dan Menteri Kesehatan. Sehingga,
tidak membuat gelisah calon jamaah haji,'' papar Menag. (Koran
Republika Selasa, 28 April 2009 pukul 23:33:00)
Apakah respon kedua petinggi ini mencerminkan
sikap bertanggung-jawab? Apakah mereka berdua tidak memahami efek
syar’i yang ditimbulkan sebagai akibat adanya kandungan enzim babi di
dalam vaksin Meningitis bagi jamaah haji? Ataukah keduanya memang sudah
terikat dengan sebuah ”protap” yang harus dipatuhi sehingga mereka
terkesan menganggap remeh perkara ini?
Keempat, selama ini pemerintah berlindung
dibalik status hukum ”darurat” sehingga vaksin yang mengandung zat najis
tetap diberikan kepada jamaah haji kita. Pemerintah
berdalih bahwa vaksin Meningitis sangat penting untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit mematikan radang selaput otak sedangkan
vaksin dengan kandungan enzim babi tersebut merupakan satu-satunya
solusi untuk mengatasinya. Jadi, dalam rangka menghindari suatu
kemudharatan yang lebih besar maka diambillah kemadharatan yang lebih
kecil, yaitu memandang ”halal” apa yang asalnya ”haram” .
Namun Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwan Syam
berkata: ''Tapi setelah kita yakin ada gantinya, apalagi saya dengar
Malaysia sudah menggunakan vaksin dari sapi, tentunya lain masalahnya.”
Lebih lanjut Ichwan Syam menegaskan bahwa pemerintah harus proaktif
mencari pengganti vaksin tersebut. (Republika Newsroom Jumat, 01 Mei
2009 pukul 11:35:00)
Senada dengan itu Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, KH
Ali Mustafa Yakub menuturkan, penggunaan vaksin meningitis berenzim babi
diperbolehkan dengan syarat: pemakaian vaksin itu diharuskan dan bisa
berbahaya bagi keselamatan jiwa, bila tak menggunakannya, sedangkan
vaksin halal tak ada. Hal itu disebutnya sebagai kondisi darurat.
''Namun, jika setelah ada solusi, maka vaksin yang mengandung enzim
babi itu harus diganti.'' (Koran Republika Sabtu, 02 Mei 2009 pukul
23:37:00)
Kelima, ternyata bukan hanya vaksin
Meningitis yang mengandung enzim babi. Tetapi banyak vaksin lainnya
mengandung enzim babi serupa. Hal ini jelas diutarakan oleh Direktur
LPPOM MUI Nadratuzzaman. Ia berkata: "Ini masalah lama, kita tahu,
Depertemen kesehatan juga tahu. Banyak vaksin yang mengandung enzim
babi, bukan hanya vaksin meningitis saja.” (Republika Newsroom
Selasa, 28 April 2009 pukul 19:29:00).
Masalah vaksinasi dengan kandungan enzim babi
merupakan masalah khusus bagi umat Islam. Umat lainnya tidak peduli
dengan halal-haramnya vaksinasi. Namun perlu diketahui bahwa bagi mereka
yang bukan muslim vaksinasi juga merupakan masalah, sebab dari segi
kesehatan fisik ternyata juga mengandung mudharat. Dan tentunya jika
secara fisikpun ia membawa mudharat, bararti bagi ummat Islam lengkaplah
sudah alasan untuk meninggalkan vaksinansi sepenuhnya. Vaksinasi haram
secara tinjauan syar’i dan ia mudharat secara tinjauan medis.
Dalam sebuah situs bernama informationliberation:The
news you’re not suppose to know terdapat sebuah video yang
menjelaskan bahaya vaksinasi bagi ummat manusia. Video tersebut
melibatkan para dokter medis, peneliti dan pengalaman beberapa orang tua
dalam hal vaksinasi. Video tersebut bernama Vaccination:the Hidden
Truth (Vaksinasi: Kebenaran yang Disembunyikan). Sudah banyak orang
menjadi sadar untuk meninggalkan budaya vaksinasi sesudah menonton video
ini. Bagi yang berminat silahkan click
http://www.informationliberation.com/?id=13924 . Di dalam situs itu
ditulis:
“Find out how vaccines are proven to be both
useless and have harmful effects to your health and how it is often
erroneously believed to be compulsory.” (Temukan bagaimana vaksin
terbukti sia-sia belaka dan malah mengandung efek berbahaya untuk
kesehatan Anda dan bagaimana ia sering keliru diyakini sebagai wajib)
Keenam, benarkah vaksin Meningitis merupakan
suatu persyaratan yang tidak bisa tidak bagi setiap calon jamaah haji?
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ali Mustafa Yakub mensyaratkan dua
hal untuk menetapkan suatu keadaan darurat, yaitu: (1) pemakaian vaksin
itu diharuskan dan bisa berbahaya bagi keselamatan jiwa, bila tak
menggunakannya; serta (2) vaksin halal tidak tersedia.
Baiklah, andai kita asumsikan bahwa memang vaksin
halal bisa diperoleh, lalu apakah itu sudah cukup alasan untuk
mewajibkan jamaah haji diberikan ”vaksin Meningitis halal” tersebut?
Pernahkah para pakar medis benar-benar melakukan penelitian untuk
membuktikan bahwa keselamatan jiwa terancam bila vaksin tersebut tidak
diberikan? Benarkah selama ini vaksin Meningitis memang efektif
untuk mencegah penularan penyakit radang selaput otak? Apakah
tidak ada satupun jamaah haji Indonesia yang mencapai duaratusribuan
orang lolos masuk ke tanah suci tanpa diberikan vaksin Meningitis?
Lalu kalau benar ternyata ada yang lolos pernahkah kita mendengar kabar
jamaah Haji Indonesia meninggal lantaran penyakit mematikan tersebut,
padahal setiap tahunnya ada saja jamaah kita yang meninggal di musim
haji?
Kita memandang perlu untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini karena bukan rahasia lagi bahwa sebagian
dokter tidak terlalu meyakini efektifitas vaksin ini. Bahkan tidak
jarang kita temui dokter yang mengizinkan seseorang berangkat haji tanpa
harus divaksin. Namun sikap ini biasanya mereka tampilkan hanya dalam
forum terbatas. Jika sudah berbicara di forum terbuka mereka akan bicara
mengikuti ”alur mantera” yang diharuskan oleh profesi medis-nya.
Ahmad Thomson menggambarkan sistem medis kafir
sebagai sebuah bisnis besar yang berkembang guna melestarikan proses
produsen-konsumen. Sistem medis dalam Sistem Dajjal
tidak pernah dimaksudkan untuk benar-benar menghapus penyakit dan
menimbulkan kesehatan. Ia malah melestarikan penyakit dengan mencekoki
masyarakat obat-obatan kimiawi yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia. Itulah sebabnya industri farmasi menjadi industri yang sangat profitable
(menguntungkan secara bisnis). Tak kecuali fenomena yang disebut dengan
vaksinasi. Vaksinasi merupakan salah satu cara massif untuk
menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada sistem medis dan sistem
farmasi kafir.
Saudaraku, sungguh terasa bahwa zaman yang sedang
kita jalani dewasa ini benar-benar merupakan zaman penuh fitnah.
Seandainya Allah tidak melindungi dan merahmati kita, niscaya kita
terancam oleh kekuatan kaum kuffar yang setiap saat menebar
kemudharatan. Kemudharatan mana tidak hanya mengganggu aspek fisik diri
kita, melainkan mencakup aspek pemahaman bahkan aqidah kita.
Hidup di babak keempat era Akhir Zaman sungguh
menuntut kita untuk sangat memperhatilkan peringatan Allah di bawah ini:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ
مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا
فِيهَا وَمَا يَمْكُرُونَ إِلَّا بِأَنْفُسِهِمْ
وَمَا يَشْعُرُونَ
”Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap
negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya
dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya
sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS Al-An’aam ayat 123)
Kita tidak mengatakan bahwa Menteri Agama dan
Menteri Kesehatan sebagai penjahat-penjahat yang terbesar sebagaimana
Allah singgung di atas. Namun kita khawatir bahwa mereka telah menjadi
bagian dari suatu sistem lebih besar yang mengharuskan semua elemennya
untuk mendukung ide jahat para pembuat makar dalam Sistem Dajjal dewasa
ini. Wallahu a’lam.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang
benar itu benar, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan
tunujukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil, dan berilah kami
kekuatan untuk menjauhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar