ل معصية عن شهوة فانه يرجى غفرانـها، و كل معصية عن
الكبر فانه لا يرجى غفرانـها. لأن معصية ابليس كان اصلها من الكبر فيما زلة
آدم كان اصلها من الشهوة
"Peluang untuk mendapatkan ampunan (maghfirah) bagi kemaksiatan
yang dipicu syahwat sangat besar, sedangkan harapan untuk memperoleh
ampunanNya bagi kemaksiatan yang bersumber dari kesombongan, sangat
kecil. Sesungguhnya kemaksiatan Iblis berakar pada kesombongan sedangkan
ketergelinciran Adam bersumber dari syahwat." (Sufyan al-Tsauri*)
Maghfirah, ampunan dari Allah Swt, adalah karunia yang mutlak
diperlukan setiap manusia. Tanpa ampunan-Nya manusia akan mengalami
kesulitan menemukan jalan kembalinya yang benar. Akibatnya ia akan
menjadi bulan-bulanan setan yang karenanya ia akan tenggelam dalam
lautan kesesatan. Karena kasih sayang-Nya-lah ampunan itu diberikan
kepada seseorang yang dikehendaki-Nya. Dengan ampunan itu ia
diperlihatkan kebaikan dan keindahan sifat dan perilakunya serta
ditutupi keburukan-keburukannya.
Oleh sebab ia merupakan karunia maka semestinya setiap diri ikut
aktif berburu meraihnya. Untuk itu Allah Swt memerintahkan kita agar
berlomba-lomba merengkuh maghfirah-Nya, “Berlomba-lombalah kalian
mendapatkan ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Allah memiliki karunia yang agung. (QS
al-Hadid [57]: 21).
Dosa adalah keburukan. Ia adalah tindakan yang melanggar norma atau
aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Suatu perbuatan disebut dosa
jika memenuhi unsur pelanggaran dan dilakukan dengan kehendak bebasnya,
secara sadar, dan atas dasar pilihan bebasnya pula. Sebab setiap manusia
memiliki kehendak bebas untuk secara sadar dan otonom memilih sesuatu.
Kebebasan memilih inilah yang memastikannya sebagai makhluk moral.
Pilihan yang paling mendasar yang ada pada manusia adalah pilihan
untuk taat atau tidak taat kepada Allah. Ketika ia dengan kesadaran
telah menjatuhkan satu pilihan untuk tidak taat kepada Allah dan
diwujudkannya dalam bentuk perbuatan yang melanggar, maka saat itulah ia
berdosa. Perbuatan yang dimaksud mencakup segala bentuk pikiran,
perkataan, dan perbuatan.
Setiap perbuataan dosa yang dilakukan seseorang pasti mempunyai
sejumlah implikasi negatif terhadap kondisi psikologis dan sosiologis
dirinya. Antara lain dapat mengakibatkan kegelisahan akut dan rusaknya
hubungan antarmanusia. Bahkan, jika dosa yang dilakukan suatu bangsa
sampai ke tingkat pembangkangan, maka akibatnya bisa jadi bangsa
tersebut dilanda kebinasaan.
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya,
maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu
kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi,
dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali
tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya
diri mereka sendiri.” (QS, al-Ankabut [29] : 40).
Akan tetapi jika seseorang melakukan taubat dan kemudian
permohonannya dikabulkan, maka ia akan meraih maghfirah-Nya. Sedangkan
esensi tuabat, memohon maghfirah, adalah kesadaran seseorang atas
kesalahan tentang masa lalu diri nya. Kesalahan itu baik terhadap
dirinya sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap Tuhannya. Menurut
Imam Ghazali, taubat memiliki keterkaitan dengan tiga dimensi waktu sang
diri. Keterkaitannya dengan masa lalunya adalah dengan menyesali
terhadap kelalaiannya dengan mengqadha jika bisa diqadha.
Keterkaitannya dengan masa kininya yaitu dengan meninggalkan dosa
kelalaiannya. Sedangkan keterkaitannya dengan masa depan dirinya adalah
dengan bertekad untuk meninggalkan (tidak akan melakukan lagi) dosa yang
membuat dirinya kehilangan apa yang dicintainya untuk selama-lamanya.
Salah satu wujud otentik maghfirah yang diraihnya ialah menghapus
implikasi-implikasi negatif dosa sehingga keburukan-keburukannya
terkubur.
Hanya Allah yang menerima dan mengabulkan taubat seseorang. Dia-lah
satu-satunya yang memiliki sifat al-Ghaffar (Maha Pengampun). Syekh Ibn
Qayyim menegaskan ketakterhinggaan ampunan dan kasih sayang-Nya. Allah
berjanji akan menghapus semua akibat buruk dosa orang yang telah
bertaubat. Bahkan akan mengganti seluruh keburukan dengan kebaikan. Dia
akan menggantikan ketakutan dengan rasa aman, kefakiran dengan
kecukupan, kebodohan dengan pengetahuan, kesesatan dengan petunjuk.
Firman Allah, “Kecuali orang yang bertobat dan beramal saleh,
maka mereka akan Allah gantikan keburukannya dengan kebaikan. Adalah
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QA, al-Furqân: [25]: 70).
Akhirnya taubat akan mengantarkan hamba menjadi kekasih Allah. “Sungguh
Allah mencintai orang bertobat dan menyucikan diri (QS, al-Baqarah
[2]: 222).
Oleh sebab itu seyogyanya setiap individu membiasakan diri unuk
selalu memohon ampunan kepada-Nya atas dosa-dosa yang tampak dan yang
tidak tampak. Pembiasaan itu telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw,
seorang ma’shum, terbebas dari dosa. “Demi Allah, sesungguhnya aku
benar-benar meminta ampunan kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih
dari tujuh puluh kali sehari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ciri seorang mukmin sejati salah satunya serius memohon ampunan dan
karenanya tidak pernah meremehkaan sekecil apa pun dosa yang
dilakukannya. Seorang sahabat Rasul, Ibnu Mas’ud, memberikan
perbandingan antara seorang mukmin dan fajir. Terutama, tentang cara
mereka menilai sebuah dosa. Beliau Ra berkata, “Sesungguhnya seorang
mukmin ketika melihat dosanya seakan-akan ia berada di pinggir gunung.
Ia takut gunung itu akan runtuh dan menimpa dirinya. Dan seorang yang
fajir tatkala melihat dosanya, seperti memandang seekor lalat yang
hinggap di hidungnya, lalu membiarkannya terbang.” (HR. Bukhari)
Ada dua pemicu utama perbuatan dosa yang dilakukan manusia. Yaitu
nafsu syahwat yang tak terkontrol dan kesombongan. Akan sangat berbahaya
jika dosa dan kemaksiatan sudah menjadi budaya dikarenakan akan
melenyapkan sifat-sifat baik yang melekat pada manusia. Misalnya
hilangnya rasa malu. Sedangkan malu merupakan tonggak kehidupan hati,
pokok dari segala kebaikan. Jika rasa malu hilang, maka lenyaplah
kebaikan itu. Nabi Saw bersabda, “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR.
Bukhari Muslim)
Belakangan ini kaum permisif dan adiktif telah mengobarkan gerakan
sosial yang dilandasi kebebasan syahwat melalui jargon kebebasan
bereekspresi. Mereka secara masif menggalakkan berbagai jenis
kemaksiatan. Mulai dari seks bebas hetero dan homo, persetubuhan di
dunia maya melalui hubungan telepon dan situs-situas porno, hingga
mengisap nikotin dan mengkonsumsi narkoba. Hal itu jelas menunjukkan
kecenderungan manusia modern untuk memperturutkan hawa nafsunya.
Sedangkan kecenderungan hawa nafsu selalu mengarahkan sang dirri kepada
dosa “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan.” (QS Yusuf [12]: 53).
Menurut Ibnu Hazm, jika nafsu syahwat berhasil mengalahkan akal, ia
akan diselimuti awan kegelapan. “Hati menjadi buta, dan ia akan setia
mengikuti jalan kemungkaran, dan akhirnya terjatuh dalam jurang
kehinaan.” Selanjutnya akan menuhankan hawa nafsunya. “Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya? Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya. Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya." (QS al-Jaatsiyah [45]: 23).
Kendati demikian, dosa kemaksiatan yang dipicu oleh hawa nafsu
peluang memperoleh ampunan Allah, jika pelakunya mau bertaubat,
sangatlah terbuka. Berbeda dengan kemaksiatan yang dilandasi oleh
kesombongan. Orang yang melakukan kemaksiatan atas dasar kesombongannya
sangat kecil akan memperoleh ampunan Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya memendam sebiji sawi dari sifat sombong." Seorang laki-laki
bertanya, “Sesungguhnya seorang laki-laki menginginkan pakaian dan
sandalnya bagus.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah, Dia
menyukai keindahan. Takabbur itu menolak kebenaran dan menghinakan
manusia.” (HR, Muslim).
Secara tersirat apa yang dikemukakan Rasulullah Saw tersebut
mengingatkan bahwa sombong atau takabbur, yang didefinisikan oleh Nabi
Muhammad Saw sebagai sikap menolak kebenaran dan menghina manusia, akan
menjadi tabir pemisah antara seorang hamba dengan surga di akhirat
nanti. Sebab kesombongan itu, seperti diungkapkan Imam Ghazali,
merupakan penghalang antara seorang hamba dengan berbagai akhlak mulia
selama di dunianya.
Takabbur atau sombong, dalam makna generiknya semakna dengan
ta'azhzum, yakni menampak-nampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa
agung dan besar, adalah lawan kata dari tawaddu' atau rendah hati. Para
ulama mengategorikannya sebagai salah satu jenis penyakit hati. Banyak
manusia yang telah menjadi mangsa penyakit hati ini. Allah Swt
berfirman, yang artinya, "Aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku." (QS, al-A'raf [7]: 146).
Penyakit hati tersebut umumnya dipicu oleh kesalahan persepsi tentang
keberadaan dirinya. Bahwa dirinya memiliki keunggulan yang melakat
dalam asal kejadiannya atau dalam etnisitasnya. Iblis menjadi sombong
karena merasa asal usul kejadiannya dari bahan yang mulia, yaitu api.
Berbeda dengan manusia yang bahannya dari lumpur yang hina. “
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan
dari tanah" (QS, al-A’raf [7]: 12.). Orang yahudi juga menjadi
sombong karena dirinya secara etnis memiliki keunggulan. “Kami adalah
bangsa pilihan Tuhan.”
Kesalahan persepsi dasar tentang dirinya itu kemudian melahirkan
sejumlah sikap yang salah pula yang menyebabkan skala kesombongan
semakin meluas. Antara lain menimbulkan kekacauan dalam penilaian dan
tolak ukur kemuliaan manusia seperti pandangan kemuliaan seseorang
terletak pada harta kekayaan yang dimilikinya, meskipun dia itu ahli
maksiat. "Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan
anak-anak (dari pada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diadzab.
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang
dikehandi-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang di kehendaki-Nya), akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dan sekali-kali bukanlah
harta dan bukan pula anak-anak kamu yang mendekatkatkan kamu kepada Kami
sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
sholeh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda
disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa
ditempat-tempat yang tinggi (dalam surga)." (QS, Saba' [34]: 35-37)
Ketika kesombongan semakin mengkristal pada diri seseorang, maka
takabbur -merasa lebih tinggi dari hamba-hamba Allah yang lain- akan
semakin membumbung. Ia akan sampai ke tingkat merasa dirinya suci. “Janganlah
kamu sekalian mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertakwa.” (QS, al-Najm [53]: 32).
Akibatnya, secara sadar atau tidak sadar, ia telah melampaui batas
hingga menempatkan dirinya pada posisi Tuhan. Orang seperti ini tentu
layak dikenai hukuman berat, yang antara lain menjadi terhalang dapat
memasuki surganya. Sebab Allah Swt menyatakan, “Kemuliaan adalah
pakaian-Ku dan kebebsaran adalah selendang-Ku. Oleh sebab itu
barangsiapa yang menyaingi-Ku dalam salah satunya maka Aku akan
menyiksanya.” (HR, Muslim). Wallahu A’lam.
*Sufyan al-Tsauri (97-161 H). Nama
lengkapnya Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri. Ia dijuluki
Amirulmu`minin dalam bidang hadits. Sufyan al-Tsauri lahir dan
dibesarkan di Kufah. Di zaman al-Manshur pernah ditawari untuk menjadi
qadi namun ia menolaknya. Ia menulis beberapa Kitab yang sangat
terkenal, antara lain Al-Jami'u al-Kabir, Al-Jami'u al-Shaghir, dan
Al-Fara`idh. Ibnu Al-Jauzi menulis satu Kitab tentang riwayat hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar