Pada suatu hari Rasulullah Saw sedang tidur-tiduran di rumahnya
melepas lelah. Beliau berbaring di atas tempat tidurnya yang terbuat
dari pelepah, pohon kurma yang dianyam. Tiba-tiba seorang sahabat beliau
yang bernama Ibnu Mas’ud datang berkunjung. Setelah mengucapkan salam
dan Rasulullah menjawab salamnya, Ibnu Mas’ud pun masuk menemui
Rasulullah.
Oleh karena saat kedatangan Ibnu Mas’ud tersebutRasulullah Saw tidak
mengenakan baju, maka Ibnu Mas’ud sempat melihat guratan merah dibadan
Rasulullah karena berbaring di atas ranjang yang terbuat dari pelepah
kurma.
Melihat kondisi Rasulullah yang demikian itu, Ibnu Mas’ud tak mampu
menahan kesedihannya, air matanya pun mengalir deras membasahi pipi.
Tidak tahu apa yang terlintas saat itu dipikiran Ibnu Mas’ud, boleh jadi
dia tidak tega melihat seorang utusan Allah, yang dimuliakan Allah,
mencintai dan dicintai oleh banyak pengikutnya, seorang pemimpin,
seorang panglima di medan perang, yang boleh dibilang sama bahkan ‘lebih
besar’ dari raja-raja atau penguasa-penguasa yang pemah ditaklukkan
beliau, tetapi tempat tidurnya saja tidak menunjukkan bahwa beliau
adalah seorang yang ‘besar’, sampai-sampai meninggalkan bekas
dibadannya. Mungkin perasaan itu yang membuat Ibnu Mas’ud sangat sedih.
Dalam kesedihan itu, Ibnu Mas’ud mencoba
untuk menawarkan Rasulullah sesuatu yang menurutnya dapat membuat
Rasulullah Saw tidur dan beristirahat dengan layak. “Wahai
Rasulullah, bolehkah kami membuatkan tempat tidur dan kasur untukmu
wahai Rasulullah?“.
Mendengar permintaan Ibnu Mas’ud tersebut, Rasulullah pun menj awab,
jawaban yang mungkin tidak diduga oleh Ibnu Mas’ ud. “Maa lii wa
lid-dunya (Apa urusanku dengan dunia?)“, dan Rasulullah melanjutkan
jawabannya, “Perumpamaan hidupku di dunia ini tak lebih bagai
seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh yang tengah berteduh di
bawah sebuah pohon yang rindang, setelah beberapa saat berteduh, ia pun
kembali melanjutkan perjalanannya dan meninggalkan pohon tersebut“.
(HR. At-Turmudzi)
Jawaban ini kiranya membuat Ibnu Mas’ud bertambah haru, sekaligus
tersadar betapa dunia ini hakikatnya hanyalah tempat berteduh sesaat
yang kemudian kita akan kembali melanjutkan perjalanan dan
meninggalkannya.
Mungkin setiap orang yang memiliki akal sehat, ketika dibacakan
kepadanya hadits ini pastilah ia bisa mengerti dan faham maksudnya,
bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dunia hanyalah sebagai tempat
transit untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan
terakhir.
Pemahaman seperti ini tidaklah salah, tetapi mencukupkan pemahamannya
sampai di situ tidaklah tepat. Dapat kita ambil sebuah ilustrasi.
Sekelompok pelajar akan melakukan perjalanan dari pulau Jawa ke pulau
Sumatera guna mengikuti ujian kelulusan. Karena perjalanan ditempuh
melalui jalur darat, maka di perjalanan para pelajar diperkenankan untuk
mampir disebuah penginapan selama 5 jam untuk beristirahat sekaligus
membahas beberapa contoh soal yang akan diujikan nanti setibanya di
tempat tujuan di pulau Sumatera.
Setelah sekian jam menempuhperjalanan yang cukup melelahkan, tibalah
para pelajar di sebuah penginapan yang direncanakan untuk mempersiapkan
diri sebelummelanjutkan perj alanan. Para pelaj ar semuanya sudah tahu
bahwa mereka hanya mempunyai waktu 5 jam di persinggahan itu. Tetapi
tidak semua mahasiswa mempunyai sikap yang sama, ketika mengetahui bahwa
mereka hanya 5 jam di persinggahan tersebut.
Diantara mereka ada yang merasa bahwa waktu 5 jam itu sangatlah
sedikit untuk melakukan persiapan, sehingga dia harus memanfaatkan waktu
tersebut untuk melakukanpersiapan ujian kelulusan, semua contoh soal
yang diberikan diusahakannya dapat dibahas seluruhnya dan ditambah
sedikit tidur untuk mengumpulkan energi.
Tetapi, ada sekelompok pelajar yang memanfaatkan waktu yang ada hanya
untuk beristirahat, ditambah sedikit melihat-lihat soal yang akan
diujikan, “mumpung diberi waktu istirahat”, kata mereka.
Tetapi ada juga sebagian pelajar yang terlena, mereka tahu bahwa
waktu 5 jam itu bukanlah waktu yang lama, tetapi mereka asyik bermain
dan bercanda, tidur-tiduran sambil berkhayal dan berandai-andai kalau
nanti saya lulus, “mumpung diberi kesempatan untuk mampir di hotel”, dan
mereka sama sekali tidak melakukan persiapan untuk perjalanan
selanjutnya.
Akhirnya, apa yang terjadi dengan hasil ujian, pastilah mereka yang
pada saat di tempat persinggahan melaku-kan persiapan dengan baik,
meraih nilai terbaik alias lulus dan bergembira. Dan mereka yang terlena
sebelumnya meraih nilai terburuk alias bersedih.
Mengetahui bahwa di dunia ini kita hanya sementara adalah penting,
tetapi mengetahui apa yang harus dilakukan di dunia yang hanya sementara
jauh lebih penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar